Mohon tunggu...
Dr. Herie Purwanto
Dr. Herie Purwanto Mohon Tunggu... Penegak Hukum - PNYD di KPK (2016 sd. Sekarang)

Bismilah, Menulis Tentang Korupsi

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Kolusi dan Nepotisme, di Antara Isu Politik Dinasti

24 Oktober 2023   14:10 Diperbarui: 24 Oktober 2023   15:26 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak media yang menurunkan Informasi dan berita terkait Gibran Dicalonkan Jadi Cawapres. Pemilihan topik  tersebut, tentunya mengiringi polemik atas dinamika politik yang terbangun pada minggu-minggu ini. Diperkirakan, dinamika tadi kian menanjak bila dibuat tabel progresnya, semakin memanas. Pihak yang pro dan kontra atas pencalonan tersebut, tidak terbantahkan. Dengan sikap dan pandangan yang berbeda, sebagai sebuah keniscayaan. 

Dalam pemberitaan tadi tergambar "seolah" pencalonan Gibran "lahir" dari sebuah keputusan Mahkamah Konstitusi yang dipimpin oleh Paman Gibran sendiri. Maka benang merahnya terbaca ada klu yang bertalian di situ, dalam bahasa hukumnya : dugaan kolusi dan nepotisme menyeruak. Maka tidak heran, bila ada salah satu pihak elemen masyarakat yang datang ke KPK melaporkan hal tersebut.

Presiden Joko Widodo (Jokowi), Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman, Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka, dan Ketua Umum PSI Kaesang Pangarep dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Senin (23/10/2023). Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Erick Samuel Paat ditemui di gedung Merah Putih KPK mengatakan, laporan tersebut terkait tindak pidana kolusi dan nepotisme. 

"Tadi kita melaporkan dugaan tindak pidana kolusi dan nepotisme kepada pimpinan KPK yang diduga dilakukan oleh Presiden kita RI Joko Widodo dengan Ketua MK Anwar, juga Gibran dan Kaesang dan lain-lain," kata Erick, Senin. Pelaporan itu diterima langsung oleh KPK dengan nomor informasi 2023-A-04294 yang ditandatangani oleh Maria Josephine Wak dikutip dari Kompas.Com

Pelaporan dugaan tindak pidana kolusi dan nepotisme menjadi hal yang menarik dibahas. Mengapa? Pasal ini seolah "tertidur", karena memang jarang digunakan. Selama ini publik sering mendengar istilah KKN, korupsi, kolusi dan nepotisme. Seolah menjadi satu kesatuan dan norma tersebut di atur dalam satu undang-undang. Namun faktanya, tidak seperti itu.

UU Nomor 20 Tahun 2001 jo UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam undang-undang ini definisi korupsi dijelaskan dalam 13 buah pasal. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dipetakan ke dalam 30 bentuk, yang dikelompokkan lagi menjadi 7 jenis, yaitu penggelapan dalam jabatan, pemerasan, gratifikasi, suap menyuap, benturan kepentingan dalam pengadaan, perbuatan curang, dan kerugian keuangan negara.

Sedangkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, pada Pasal 1 angka 4 menyebutkan kolusi adalah permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antar penyelenggara negara atau antara penyelenggara negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat dan atau negara.

Sedangkan pasal 1 angka 5 menyebutkan nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan Negara bersumber dari sindonews.com

Bila sekilas meruntut asumsi pelaporan atas dugaan kolusi dan nepotisme, sepertinya melihat sesuatu yang terang benderang. Sepertinya ada benang merah dua klu, yaitu klu hubungan keluarga dan dasar majunya Gibran sebagai Calon Wakil Presiden mendampingi Prabowo Subiyanto. Dua klu ini secara asumsi begitu mudah masuk dalam anasir kolusi dan nepotisme.

Masalahnya sekarang adalah pembuktian tindak pidana, bukan sekedar atas dasar asumsi atau cocoklogi dalam bahasa gaulnya. Bagimana menarik sebuah perbuatan atas dasar niat jahat atau sikap batin pada perbuatan, akan menjadi obyek pendalaman pembuktian. 

Meski dalam hal ini, keterlibatan keterangan ahli sangat dibutuhkan. Namun, bukan sekedar pendapat, tetapi bagaimana perbuatan secara materiil terjadi dan dilakukan oleh pihak yang disangka melakukan perbuatan kolusi dan nepotisme tadi.

Perdebatan antara "adanya kepentingan" di balik putusan MK dan "terbuka-nya" peluang Gibran maju sebagai pendamping Prabowo Subiyanto, menjadi tidak mudah bila masuk dalam ranah pembuktian. Dalam lingkup ini, minimal logika hukum menjadi bridging untuk memberikan pemahaman terhadap anasir unsur pasal kolusi dan nepotisme tadi.

Namun tidak ada pilihan bagi  KPK yaitu untuk tetap profesional dalam bersikap. Semua ada aturan mainnya, tinggal dijalankan. Transparansi cara bekerjanya, akan memunculkan trust keseriusan dalam penanganan perkara tersebut. 

On the track dalam penyidikan, dipastikan akan dapat dukungan dari publik. Sebaliknya, bila dalam proses tadi, publik menilai ada intervensi, maka runtuhlah benteng kepercayaan pada KPK, yang sejatinya pada minggu-minggu belakangan ini juga diselimuti kabut hitam atas perkara yang tengah membelenggu lembaga KPK.

Meskipun, dari sisi empiris apapun yang terjadi pada lembaga KPK dengan pimpinan yang bersifat kolektif kolegial, tidak berpengaruh pada proses yang ditangani oleh kedeputian penindakan dan eksekusi. 

Di dalam kedeputian inilah core business dalam penyidikan tindak pidana korupsi dilaksanakan, dengan ending nantinya pengajuan berkas perkara oleh Jaksa KPK sebagai Penuntut Umumnya.

Butuh waktu untuk mengetahui bagaimana ending pelaporan ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun