Mohon tunggu...
Dr. Herie Purwanto
Dr. Herie Purwanto Mohon Tunggu... Penegak Hukum - PNYD di KPK (2016 sd. Sekarang)

Bismilah, Menulis Tentang Korupsi

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Weleh, Milih Caleg Mantan Narapidana?

9 Oktober 2023   15:30 Diperbarui: 9 Oktober 2023   15:31 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pertimbangan apa yang biasanya kamu gunakan untuk memilih caleg? Apakah kamu akan tetap memilih caleg tertentu yang pernah tersangkut kasus korupsi atau perkara judi online? Demikian prolog dari redaksi Kompasiana pada artikel pilihan dengan judul Pertimbangan Sebelum Memilih Caleg. Karena ketertarikan saya menulis dengan tema korupsi, prolog ini tentunya menjadi peluang saya untuk mengelaborasikan-nya.

Fakta menyebutkan: bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengungkapkan ada 52 mantan narapidana (Napi) yang terdaftar sebagai bakal calon legislatif (Bacaleg) DPR RI pada Pemilu 2024, sumber um-surabaya ac.id.

Selanjutnya, sebagai pijakan yuridis terkait masalah tersebut Permohonan perkara Nomor 87/PUU-XX/2022 yang diajukan oleh Leonardo Siahaan, Suhartoyo menyebutkan bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang pernah menjalani pidana dengan ancaman pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik yang bersangkutan mantan terpidana sebagaimana diatur dalam norma Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu tersebut tidak sejalan dengan semangat yang ada dalam persyaratan untuk menjadi calon kepala daerah dalam norma Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada, dan MK telah mengabulkannya, dikutip dari um-surabaya ac.id.

Substansi dari putusan Mahkamah Konstitusi memberikan ruang bagi caleg mantan terpidana korupsi, sepanjang ia secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik ihwal jati dirinya.

Caleg yang sudah tersangkut perkara korupsi, lebih-lebih sudah pernah dijatuhi hukuman untuk perkara korupsi, dari sisi rekam jejak, tentunya sudah masuk dalam list stigma "koruptor". 

Walau stigma ini sebatas stigma sosial, namun cukup memberikan gambaran bagaimana ia pernah melakukan korupsi. Meski banyak penggolongan atau cluster korupsi, namun pemahaman umum lebih pada perbuatan suap-menyuap, gratifikasi,  dan perbuatan yang bertalian dengan "penggunaan uang Negara". Sehingga benang merahnya adalah ia telah tercatat dengan tinta merah, menoreh sebuah noda yang "kurang pantas" untuk seseorang yang akan menyandang sebagai "wakil rakyat."

Dalam batasan seperti itu, sebenarnya bila publik sudah sama persepsinya, maka apapun yang dilakukan, ia kampanyekan, termasuk misalnya melakukan money politik, tidak menggoyahkan sikap dengan tidak memilihnya. 

Ini sebagai konsekuensi atas stigma koruptor tadi dan meski ia telah menjalani hukumannya, sanksi sosial terus berlanjut. Namun sepertinya masyarakat negeri ini, yang dikenal sebagai pemaaf dan mudah lupa pada track record atau rekam jejak seseorang, sangat memungkinkan caleg yang pernah terjerat korupsi, masih berpeluang dipilih dan menduduki singgsananya di parlemen.

Dengan kontruksi seperti itu, sebenarnya tinggal dikembalikan kepada caleg yang bersangkutan. Ia bisa mengukur diri, pantas atau tidak pantasanya. Atau justru pada titik tertentu ia menemukan jawabnya: saya sudah mempertanggungjawabkan kesalahannya di tahanan, jadi apa salahnya sekarang saya menebus, untuk mengabdi kepada masyarakat, berbuat baik dan bersikap Amanah? Bila ini yang menguat dalam jiwanya, secara normative tidak ada lagi regulasi yang melarangnya, maka pilihan akhir jadi atau tidaknya ada pada rakyat pemilihnya.

Adanya fakta ambigu ini menjadikan satu peluang di dalam masyarakat pemilih dalam menyikapi adanya caleg yang pernah tersangkut perkara korupsi. Jadi, sangat dimungkinkan keterpilihan atau ketidakterpilihan caleg tadi, sangat ditentukan bagaimana ia bisa menunjukan adanya perubahan dan komitmen pada sebuah perubahan, baik perubahan perilaku dirinya sendiri maupun keinginan untuk "kembali ke jalan yang benar" bisa diterima oleh publik. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun