Menurut analisis saya yaitu adanya power yang kuat, sehingga bisa mempengaruhi dan mengkondisikan proses hukum. Power ini bukan semata-mata dari internal, namun juga karena pengaruh luar instansi.Â
Maka tidak heran, bila ada kasus korupsi mangkrak tadi bisa bergerak dan move on lagi setelah sekian lama waktu berjalan dan pengaruh atau power tadi sudah tidak mempunyai kuasa atau lengser dari jabatannya.
Mengatasi hal ini, maka KPK diberikan kewenangan oleh Undang-Undang, dalam menangani perkara korupsi dengan cara-cara yang luar biasa, tidak menggunakan prosedur secara umum.
Namun, lex specialis pada hal-hal tertentu untuk bisa menerobos dan mengatasi hambatan kemungkinan adanya intervensi atau power kekuasaan atas sebuah perkara korupsi.
Bila perkara korupsi yang mangkrak tadi terjadi di lingkungan Kejaksaan atau Kepolisian Republik Indonesia, fungsi Koordinasi dan Supervisi KPK akan menjembatani, berkomunikasi dengan Satuan Tugas Monitor dan Evaluasi Kejaksaan Agung maupun Satgas dari Bareskrim.Â
Tujuan kerja sama ini salah satunya adalah harmonisasi dalam proses penegakan hukum, sehingga bisa mengatasi hambatan yang ada, sebagaimana amanah UU No 19/2019 tentang KPK. MOU ataupun Perjanjian Kerja Sama antara lembaga pemberantas korupsi tadi.
Sudah lama terjalin dan pada kurun tahun tertentu dilakukan penyesuaian sesuai dengan situasi dan kondisi yang terjadi sebagai bentuk dari dinamika serta proses pemberantasan korupsi.
Pertanyaanya bagaimana bila perkara korupsi yang diduga ada intervensi tadi terjadi pada KPK sendiri? Siapa yang bisa dirujuk oleh publik untuk menunjukan peran dalam fungsi kontrol atas penanganan korupsi oleh KPK?Â
Tiada lain adalah Dewan Pengawas KPK. Lembaga ini dibentuk, salah satunya untuk mengawasi KPK dalam menjalankan tugas-tugas pemberantasan korupsi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H