Mohon tunggu...
Dr. Herie Purwanto
Dr. Herie Purwanto Mohon Tunggu... Penegak Hukum - PNYD di KPK (2016 sd. Sekarang)

Bismilah, Menulis Tentang Korupsi

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Simfoni Menghadapi Koruptor

3 Oktober 2023   14:24 Diperbarui: 3 Oktober 2023   14:25 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Adanya perbedaan pendapat dalam pembahasan hukum, menjadi sebuah keniscayaan. Karena memang banyak mashab atau aliran serta doktrin-doktrin yang berbeda. Fakta menarik, acapkali bisa lihat saat tayangan live persidangan, di mana untuk menguatkan pembuktian, yang ibaratnya membahas satu obyek permasalahan, karena kehadiran para Ahli dari berbagi aliran, maka dipastikan akan muncul silang pendapat.

Pemeriksaan terdakwa di depan persidangan pada perkara korupsi, sering kali menghadirkan Ahli untuk dimintakan pendapatnya, baik ahli pidana, ahli tipikor, ahli pengadaan barang dan jasa pemerintah, ahli teknik berkaitan dengan spesifikasi bangunan dan ahli lainnya. Pendapat para ahli ini menjadi salah satu alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP, disamping keterangan saksi, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.

Pihak yang ingin menguatkan pembuktian harus menghadapi pula pihak yang ingin mematahkan dalil pembuktian tadi, dengan mendatangkan ahli yang sejenis juga. Sehingga sering dua ahli dari dua kubu yang berbeda dihadirkan di persidangan. Apa yang terjadi? Acapkali keterangan ahli tersebut dapat dinilai condong pada kepentingan pembelaan pihak yang menghadirkannya. Sangat mungkin dalam menilai sebuah perbuatan muncul dua pendapat yang bersilangan. Sudut pandangan yang berbeda, meski dalam satu rumpun keilmuan, memungkinkan perbedaan tersebut. Bagaimana akhirnya hakimlah yang akan memutuskan dengan keyakinannya.

Dalam tataran literature hukum, Pasal 183 KUHAP menyebutkan Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Dalam posisi perkara, konteks ini perkara korupsi yang sudah diajukan penuntutan, ibaratnya tinggal "hakim" yang memutuskan, terbukti atau tidak. Pertanyaannya sekarang, bagaimana bila perkara korupsi tersebut masih di tahap penyidikan? 

Pada saat awal penetapan tersangka, penyidik mempunyai keyakinan adanya keterlibatan tersangka A dan B serta C misalnya. Namun dalam perjalanannya, hanya A dan B sebagai pihak PPK dan Penyedia Barang yang bisa diterima dalil pembuktiannya dan bisa lanjut di persidangan, serta divonis oleh hakim. Namun terhadap C, penuntut umum dalam penelitian berkas perkaranya berpendapat secara materil C belum layak untuk dituntut di persidangan. C di sini adalah sebagai pihak penyedia jasa, bagian dari pekerjaan yang di tenderkan.

Tidak mungkin secara rinci dan rigid diuraikan dalam artikel ini, namun kontruksi yang ingin disampaikan adalah terkadang dan sering dihadapi oleh penyidik tindak pidana korupsi, muncul penafsiran awal yang diyakini suatu perbuatan dilakukan sebagai sebuah hubungan sebab akibat atau kausalitas, namun di ujung penilaiannya kausalitas tadi menjadi terabaikan. Teori Qonditio Sine Qua Non, terabaikan. Sehingga perkara tadi menjadi ada "yang terpotong", karena alasan tidak terpenuhinya perbuatan materil si C. Pada diri C dinilai tidak ada mens rea atau niat jahat.

Kembali pada awal artikel, sejatinya perdebatan dalam hukum sudah sangat dipahami. Namun, ketika ada conflik of interst muncul, maka bisa dipastikan akan ada "fakta-fakta " hukum yang akan dihilangkan, dikurangkan atau di belokan. Sehingga seolah berlaku " siapa yang bisa mendalilkan" dengan teori-teori yang ada, maka jelas yang muncul kemudian adalah "menisbikan-fakta" yang sebenarnya? Ini pekerjaan siapa?

Tentu pekerjaan mereka, yang menangani proses hukum, mengerti hukum namun sekaligus menjadikan hukum sebagai lahan basahnya. Orang bilang : hukum acapkali memihak pada siapa yang mau bayar. Ini bukan isapan jempol, namun fakta yang publik bisa menemukan fakta-faktanya.

Bila sudah begini maka anekdot : Maju tak gentar, bela yang bayar, bukan lagi untuk bahan candaan, namun sudah menjadi keprihatinan, karena ada yang memang senang dengan hal tersebut serta menjadikan lahan untuk sumber kehidupan yang mewah atau untuk memenuhi gaya hidup hedon atau mempertahankan status sosialnya. Karena dari situlah uang akan mengalir dengan deras seperti saat hujan turun pada  musimnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun