Berapa peluang seorang saksi statusnya berubah ditingkatkan menjadi tersangka? Tentunya tidak ada prosentase yang bisa menyebutkan hal tersebut, karena lebih pada kasuisitis. Beban materi kesaksian yang semakin mendekatkan pada peran terjadinya suatu tindak pidana, mempunyai probabilitas lebih besar, dibandingkan dengan saksi yang semakin jauh dari lingkar terjadinya suatu tindak pidana. Mungkin bisa dianalogkan sebagaimana seseorang yang memakan bubur dalam kondisi panas di piring. Tentulah, ia akan memulai memakan dari bagian yang paling pinggir, perlahan agak ke dalam hingga akhirnya ia mengambil bubur yang berada di tengah. Ini dikenal sebagai teori makan bubur panas.
Bila saksi dalam analog teori makan bubur panas tadi berada pada lingkaran terluar, kemungkinan ia berperan dalam suatu modus tindak pidana semakin kecil, sebaliknya, semakin mendekati pusaran yang tengah, sangat mungkin peluang menjadi besar, karena pada lingkaran pusar tersebut, menjadi posisi sebagai "pelaku." Meskipun sebagaimana disebutkan dalam Pasal 55 KUHP, kualifikasi pelaku ini mempunyai peran masing-masing, yaitu mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan atau memberikan kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan.
Lebih-lebih bila saksi tadi, mempunyai peran yang sentral terhadap tindak pidana yang terjadi, dalam konteks artikel ini adalah tindak pidana korupsi. Seolah terbayang, pelaku korupsi adalah mereka yang memperkaya diri sendiri. Menjadi tersangka korupsi, mendapatkan pundi-pundi materi yang melimpah, harta kekayaannya bertambah. Ini persepsi yang kurang pas dan sepenggal. Karena, tanpa adanya peningkatan harta yang signifikan-pun, bila perbuatannya menyebabkan memperkaya orang atau suatu korporasi, tetap ia bisa dianggap sebagai tersangka.
Bagaimanapun mungkin tidak "mendapatkan" apa-apa, namun tetap dijadikan tersangka? Filosofi dari perbuatan yang tidak mewajibkan adanya "memperkaya diri sendiri", namun "memperkaya orang lain atau korporasi" adalah Negara menghukum pada perbuatan seseorang. Seorang pembuat kebijakan, yang salah arah, sehingga menimbulkan kerugian keuangan Negara, tanpa ia menerima sepeserpun dari uang Negara tersebut, tetaplah masuk dalam kontruksi filosofi tadi.
Dalam prespektif hukum, Pasal 2 dan 3 UU Tipikor yang menjadikan tindak pidana korupsi sebagai delik formil, menyebabkan banyak sekali aparatur sipil Negara  yang hanya karena lalai atau karena suatu diskresi kebijakan untuk kepentingan umum dan menguntungkan bagi Negara atau rakyat tetap dikenai tindak pidana korupsi.
Untunglah, kemudian Mahkamah Konstitusi membaca kegundahan ini, dengan putusan yang fenomenal, yaitu  Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016 yang mencabut frasa "dapat" dalam Pasal  2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor, sehingga yang harus dibuktikan adalah  adanya kerugian Negara yang nyata-nyata terjadi, bukan sekedar potensial loss, atau potensi kerugian. Lebih spesifik dalam bahasa hukum, putusan MK salah satunya mengubah delik formil ke delik materiil pada tindak pidana korupsi.
Dalam konteks kekinian yang menjadi prolog artikel, pertanyaan yang ahirnya ditunggu adalah : apakah sangat mungkin saksi bakal calon presiden atau bakal calon wakil presiden yang pernah di periksa KPK (tanpa saya sebutkan, kiranya pembaca yang budiman sudah mafhum) bisa dinaikan statusnya menjadi tersangka? Terhadap ini, beberapa kemungkinan terjadi :
Pertama, bila saksi "telah memberikan keterangan" sebatas hal-hal yang normative, dan tidak ada keterangan saksi lain yang menyebutkan peran dirinya serta tidak ada alat bukti lain yang bisa dijadikan dasar untuk diperiksa tambahan atau lanjutan, maka selamat-lah ia. Tidak ada pintu bagi penyidik untuk memaksakan saksi seperti ini ditingkatkan menjadi tersangka. Resiko besar bila memaksakan diri untuk merekayasa, atau mendisgn perkara yang demikian, karena akan berhadapan dengan masalah kode etik sampai pada pelanggaran pidana.
Kedua, bila saksi "telah memberikan keterangan" yang menurut dirinya sebatas normative, namun menurut penilaian penyidik perlu pendalaman lebih lanjut, disertai dengan adanya keterangan saksi lain dan didukung adanya alat bukti, bahwa ia tidak bisa lepas dari tanggungjawab atas terjadinya rangkaian perbuatan/ ada dalam kausalitas tindak pidana yang terjadi -- qonditio sine qua non, maka sangat mungkin kepadanya akan diperiksa lagi kemudian ditetapkan sebagai tersangka.
Begitulah proses hukum, sebuah proses yang harus berprinsip pada due process of law -- tetap menjunjungu tinggi nilai keadilan.