Bakal calon presiden maupun wakil presiden mulai menebar janji-janji kepada rakyat. Ada yang tebar pesona dengan "ingin BBM gratis", kemudian ada program " makan dan minum susu gratis" di lingkungan pendidikan. Tentu mendekati pelaksanaan pemilu tahun depan, janji-janji sejenis akan sering ditebarkan. Juntrungnya tiada lain dan tiada bukan adalah menarik publik untuk mendukung mereka dengan memberikan suara melalui coblosan di tempat-tempat pemungutan suara (TPS).
Sebagaimana janji-janji manis kepada rakyat, sepertinya belum ada bakal calon presiden atau wakil presiden maupun tim suksesnya yang berani kampanye: Gantung Koruptor di Alun-Alun! Ih, sadis banget? Karena sadis, bisa jadi tidak ada yang berani umbar janji seperti itu. Karena apa? Jawabnya akan muncul perdebatan, namun substansinya bisa di-cluster sebagai berikut.
Pertama, bisa jadi akan menjadi boomerang, ketika ada calon atau parpol yang gencar mengampanyekan gantung koruptor karena sangat disadari, sangat mungkin anggota parpol atau kader yang begitu agresif tampil terdepan kampanye memerangi koruptor hanya sebagai lips service. Pasalnya, di lain waktu banyak kader parpol yang dicokok KPK, Kejaksaanm atau Polri setelah mereka menjabat. Kampanye yang digembor-gemborkan hanya untuk menarik image dan branding, seolah ia antikorupsi.
Kedua, bisa jadi juga akan banyak tantangan dari beberapa pihak internal dan eksternal parpol mereka sendiri atau dari kalangan penguasa. Gurita korupsi di negeri ini sepertinya belum bisa "menerima" konsep gantung koruptor atau ditembak di tempat umum sebagaimana diberlakukan di negara seperti China yang sukses memerangi korupsi. Korupsi masih memungkinkan untuk dicarikan upaya-upaya yang konon penanganannya harus extraordinary -luas biasa- tidak dengan cara-cara yang biasa. Namun, pelaksanaannya masih banyak pertimbangan sehingga belum efektif menimbulkan efek jera.
Padahal, dikaitkan dengan janji-janji kampanye guna menarik simpati publik, "selera" publik terhadap sebuah isu sangat menarik untuk ditindaklanjuti oleh para calon maupun tim suksesnya.
Lembaga Survei Indikator Politik Indonesia merilis hasil survei persepsi publik terhadap hukuman mati bagi koruptor kelas kakap dan gembong narkoba. Hasil survei menunjukkan, sebagian besar responden setuju pemberian hukuman mati dilakukan bagi keduanya. Responden yang mendukung penerapan hukuman mati bagi koruptor kelas kakap sebanyak 84%. Rinciannya, 26,5% responden berpendapat sangat setuju, sedangkan 57,5% responden setuju, dikutip dari katadata.co.id.
Artinya, bila kampanye bergerak atas dasar survei, tidak bisa dikesampingkan salah satu isu yang bisa diangkat adalah tentang gantung atau tembak koruptor tadi, yang berdasarkan survei tadi sangat direspon oleh publik. Ini bisa dipahami karena rakyat seolah sudah jenuh melihat fakta bahwa beragam cara dilakukan dalam memerangi korupsi, tetapi dipandang belum efektif.
Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut uang pengganti yang kembali ke negara atas kerugian kasus korupsi pada 2020 hanya berjumlah Rp 8,9 triliun. Padahal, menurut data ICW, total kerugian negara akibat tindak pidana korupsi mencapai Rp 56,7 triliun, bersumber dari kompas.com.
Bayangkan, hampir Rp. 56,7 triliun, jumlah yang tidak sedikit. Dana tersebut dibuat "pesta pora" oleh para koruptor di tahun 2020. Meski menggunakan data tahun 2020, data tersebut bisa dijadikan gambaran betapa rakusnya para koruptor. Tentunya, bila disepakati bahwa korupsi sebagai musuh bersama (common enemy), keseriusan untuk memberantasnya perlu dijadikan salah satu program calon pemimpin negara ini.
Semoga ada calon presiden dan wakil presiden yang menerima tantangan ini: siap gantung atau tembak mati koruptor di alun-alun demi terciptanya keadilan dan kesejahteraan rakyat!
Salam Anti Korupsi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H