Mohon tunggu...
Dr. Herie Purwanto
Dr. Herie Purwanto Mohon Tunggu... Penegak Hukum - PNYD di KPK (2016 sd. Sekarang)

Bismilah, Menulis Tentang Korupsi

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Slow Living Cara Kami

16 Agustus 2023   04:00 Diperbarui: 16 Agustus 2023   07:33 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Dokumentasi Pribadi

Dalam setahun ini atau delapan bulan yang sudah lewat di tahun 2023 ini, agenda saya bersama Istri untuk menikmati alam di luar kota dan menginap di tempat tersebut adalah di bulan Maret (Gunung Cilik, Wonosobo), bulan Mei (Ke Dieng), dan bulan depan In Syaa Alloh, ke Temanggung. Semuanya masih ada di Jawa Tengah, kisaran jarak dengan rumah sekitar 3-4 jam tempuh perjalanan dengan rata-rata di bawah 80 Km/jam. Bahkan pada titik tertentu, saat melewati kelokan dan turunan jalan, lebih hati-hati lagi, bisa di bawah 40 km/jam.

Dalam perjalanan tadi, tak ada target, selain bisa menikmati pemandangan yang ada, tanpa harus menginap di hotel tertentu, atau harus menikmati makanan khas di tempat tertentu pula. Semua mengalir. Begitu tiba saatnya makan, ya makan saja apa yang menjadi khas penduduk setempat dan berada tidak jauh dari situ. Bisa makan dengan duduk, lesehan atau di atas mobil. Bila jelang waktunya istirahat, ya, cari yang paling dekat dari situ juga. Bisa yang hanya Rp. 100.000 ribuan atau Rp. 200.000 an, atau lebih dikit, tidak pilih yang hotel dengan lantai berkeramik lebar dan gilap.

" Kalau mau menikmati Mie Ongklok ya harus di tempat itu Pak..benar-benar khas. Tapi pengunjungnya kalau sudah jam segini, ngatri panjang. Bisa-bisa malah sudah habis. " Begitu kata seseorang, yang sebelumnya menjadi penunjuk home stay tempat menginap.

"Kalau yang lainnya apa tidak enak, Mas?"

"Ya kata orang-orang, paling enak yang saya sebut tadi."

"O gitu, sudahlah yang penting saya bisa menikmati sepiring Mie Ongklok. Yang biasa-biasa saja ndak apa-apa, cepat saji dan tidak jauh dari tempat sini."

"Kalau itu, yang disebarang jalan tempat Bapak menginap saja ada."

Sekedar percakapan yang terjadi, beberapa bulan lalu saat saya dan Istri ke Dieng dan ingin mencicipi makanan khas daerah tersebut, salah satunya ya Mie Ongklok. Yang belakangan, setelah saya mencobanya, hemmm, begitu beda dari Mie rebus biasa yang ada di daerah saya, Pekalongan. Keragaman rasa, memicu selera dengan kekhasan tersendiri.

Begitulah saya dan Istri terbiasa seperti itu. Sepertinya tidak mau ribet, mengejar sesuatu yang seolah-olah rela untuk berebut, antri panjang dan sebagainya hanya untuk memperoleh sesuatu dengan cara yang lebih cepat dan tidak buang waktu. Karena, waktu penantian bisa digunakan untuk kegiatan lain yang lebih enjoy dan privasi. Makanya, salah satu kesepakatan tidak tertulis dengan istri saya, membiasakan segala sesuatunya on time, namun harus terkonsep sebelumnya. Sehingga tidak terjadi pendadakan yang akhirnya sesuatu tadi dilakukan dengan grusa-grusu alias buru-buru. Dengan kata lain, waktu menjadi tidak efektif.

Mungkin, beginilah cara kami, "mengadopsi" gaya hidup slow living mix Frugal Living.

Menjalani hidup slow living berarti lebih fokus pada rutinitas, menyediakan waktu untuk melakukan hobi yang benar-benar disukai, bahkan menikmati alam tanpa harus bersama telepon genggam, menjauh dari smartphone sementara waktu. Inti dari slow living adalah menjalani dan melakukan semua hal yang membuat merasa baik. Dengan begitu banyak manfaat yang bisa di dapat, misalnya merasa lebih bahagia, tidak terlalu stress dan hidup lebih damai, dikutip dari  cnnindonesia.com.

Mengutip dari Psikolog klinis Veronica Adesla, slow living adalah gaya hidup dengan konsep menjalani hidup dengan lebih bermakna. Melakukan segala sesuatu dengan tepat, melambat dan tidak terburu-buru. Orang yang menerapkan slow living akan memiliki pembawaan tenang, santai dan  dibalut kesederhanaan.

Penganut slow living bukan berarti tanpa memiliki ambisi atau target dalam hidupnya. Sebuah keyakinan yang mematri setiap langkahnya, tertumpu pada keyakinan bahwa untuk mencapai ambisi atau target dalam hidup, tidak harus dengan mengeluarkan full energi dalam sebuah hentakan, namun dengan step by step, pelan-pelan tapi pasti, raihan pada target tadi tetap bisa dicapai. Konsep budaya Jawa menyebutkan : " urip ora ngoyo", bahasa milenianlnya " hidup tidak perlu ngegas. "

Pada titik ini muncul juga asumsi, slow living sangat pas bagi mereka yang memang sudah "bisa mapan" atas kehidupannya. Bagi mereka yang untuk "makan" susah, bagaimana mau menerapkan slow living? Begitu kira-kira pertanyaan.

Sejatinya, untuk hidup tidak terlalu ngoyo tadi, atau tidak terlalu ngegas poll tadi, bisa dilakukan oleh semua orang, asal ada kemauan, tanpa harus mengkatagorikan dirinya "orang yang sudah selesai dengan masalah harta", namun menjadi sebuah filosofi perilaku, bahwa hidup untuk dinikmati, bukan terbuang karena terlalu full energi dalam merealisasikan apa yang menjadi keinginan.

Hidup menjadi lebih merdeka.

Salam Merdeka, 160823

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun