Mohon tunggu...
Dr. Herie Purwanto
Dr. Herie Purwanto Mohon Tunggu... Penegak Hukum - PNYD di KPK (2016 sd. Sekarang)

Bismillah, Menulis Seputar Hukum dan Korupsi

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Mungkin Ini Frugal Living ala Kami

15 Agustus 2023   08:41 Diperbarui: 15 Agustus 2023   08:44 3405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Dokumen Pribadi

Sederhana saja yang saya lakukan ketika di rumah, libur di akhir pekan. Ajak Istri, ke pasar, belanja. Ada kebahagian di situ, walau harus belusukan. Ketika ingin sesuatu yang dijajakan, tinggal tunjuk. Istri yang akan membelinya. Ketika penjual menawarkan harga, Istri sudah saya kasih rambu-rambu untuk tidak menawar dengan serius. Kalaupun basa-basi pantasnya di pasar begitu, boleh. Misalnya begini :

" Berapa talas ini Bu? "

" Satu Kilo Rp. 15.000. "

" Boleh kurang? "

" Itu sudah tipis untungnya, Bu. "

" Ya sudah, beli dua kilo. "

Begitu. Karena saya sering bilang sama Istri, jangan suka menawar pada pedagang-pedagang di pasar, biar mereka untung. Barangkali, keuntungannya untuk sekedar makan atau menyekolahkan anak-anak mereka. Lebih-lebih bila pada pedagang keliling yang sampai masuk ke depan rumah. Kebiasaan tersebut, sekedar kita menunjukan empati bahwa mereka adalah pejuang-pejuang pencari nafkah untuk keluarganya.

Berjalan menyusuri lorong pasar tradisional, dengan membawa tas belanjaan memang bukan sebagai kewajiban suami. Namun, itu menjadi sebuah simponi untuk mengisi hari-hari dengan penuh semangat, dari pada libur hanya di rumah tanpa kegiatan yang bisa menjadikan tubuh malah terasa penat dan lelah dengan sendiri, akibat tanpa aktifitas. Ujung-ujungnya ya tiduran.

Mengapa memilih pasar tradisonal? Tempat yang segera menimbulkan asumsi kotor, berdesakan, kurang higienis dan sejenisnya. Kontra dengan keadaan mall atau pasar modern lainnya, yang AC, bersih, semua tersaji dan tinggal ambil sendiri dengan kebersihan yang terjaga. 

Kalau semua orang berpikiran seperti ini, habis sudah riwayat pasar tradisional. Berapa pedagang, berapa pekerja kuli panggul, berapa orang penjual jasa lainnya yang hidup hari lingkungan pasar. Maka, terhadap kesan negatif tadi, saya berusaha tepis dengan berpikir positif saja. Apa yang kotor, kurang higienis, berdesakan dan sebagainya, harus disiasati dengan hati yang lapang, tidak mengeluh, serta memastikan apa yang harus dicuci sebelum dimasak, sehingga terjamin kualitas bahan makanan, ikan, daging atau sayur dan buah yang beli di lapak-lapak di dalam pasar tadi.

Berpikir yang sederhana, dengan tindakan yang sederhana pula, bukan menyederhanakan permasalahan. Namun hal ini bisa terbias dan terbiasa dalam menghadapi beragam persoalan, baik persoalan dalam keluarga, di lingkungan kerja maupun di lingkungan masyarakat. Konteks bertindak sederhana, bisa jadi mirip-mirip sebagaimana yang tengah menjadi viral sebagai bentuk frugal living? 

Sebagaimana dikutip djkn.kemenkeu.go id, frugal living secara sederhana dimaknai sebagai gaya hidup hemat atau irit terhadap pengeluaran. Seseorang yang mengadopsi frugal living akan memilih memasak makanan sehat daripada membeli di luar, membeli produk lokal berualitas tanpa harus maniak merk, tidak memusingkan fashion atau gadget yang terus menerus up date.

Terlepas dari gaya hidup yang tengah viral tersebut, konsep saya bersama Istri meneguhkan pola mengutamakan hidup keseharian dengan apa adanya, tidak berusaha ngoyo atau memaksakan diri mengkuti trend-trend kekinian, sudah menjadi komitmen dari awal pernikahan. Komitmen ini terus terjaga dan tersemai menjadi kebiasaan hingga sekarang. Sampai-sampai ada kritikan dari anak-anak yang sudah bisa menilai perilaku hidup orang tuanya, sebagai pola hidup yang benar-benar : "jauh dari hingar-bingar kekinian." 

" Yang tidak modern itu antik. " Ucap saya suatu ketika saat kumpul-kumpul dengan keluarga, termasuk dengan anak-anak.

" Yang antik itu mahal ya Yah..." Seloroh salah satu anak saya dengan disambut tawa bersama.

Begitulah kiranya, gaya hidup yang apa adanya, tanpa harus mewajibkan diri mengikuti apa yang menjadi trend masa kini. Kebahagiaan tidak harus mengikuti dan memiliki apa yang sedang viral dan banyak orang mengikutinya, walau dengan bersusah payah memerolehnya.

Salam merdeka : Jakarta,150823

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun