Mohon tunggu...
Dr. Herie Purwanto
Dr. Herie Purwanto Mohon Tunggu... Penegak Hukum - PNYD di KPK (2016 sd. Sekarang)

Bismilah, Menulis Tentang Korupsi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Yang Ingin Pindah Kewarganegaraan, Baca Kisah Ini

19 Juli 2023   06:00 Diperbarui: 19 Juli 2023   06:40 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

" Tidak usah. Tidak usah.  Mereka sudah tahu, karena ini...

Sang Ayah menunjukan HP pada lelaki yang di sebelahnya. Lelaki tersebut melihat layar HP, di mana status dalam HP Sang Ayah menunjukan sosok perempuan yang sudah diam bertulis : Inalillahi Wainailahi Rojiun, Semoga Sorga tempatmu....dan ada foto kecil kebersamaan Sang Ayah dengan perempuan itu.

" Mereka anak-anakmu tidak ada yang respon untuk bersegera kembali ke Indonesia. "

Itulah.

Yang membuat air mata seperti sudah terkuras pada lelaki tersebut. " Saya telah salah. Salah besar dalam hidup ini. Saya hanya mengajarkan kepada anak-anak untuk hidup sukses dan sukses serta sukses. Jauh dari menanamkan rasa ikatan batin dengan orang tua, apalagi kecintaan pada tanah tumpah darah. Meskipun banyak cara sebenarnya untuk melakukan itu semua, namun keempat keponakanmu seperti terbius pada doktrin sukses dan sukses tadi. Sukses dunia seolah segalanya, dengan menisbikan sukses yang abadi, yaitu sukses kehidupan kelak dengan melalui pintu ridho orang tua.  Jadilah seperti sekarang. "

Tangan lelaki di samping Sang Ayah menepuk pundak pelan. Ia ikut merasakan kepedihan itu dan sangat paham, karena lelaki yang di sampingnya itu adalah adiknya. Lelaki itu, sering mendengar keluh kesah adiknya dalam empat tahun terakhir hingga saat hari-hari terakhir adik iparnya benar-benar drop,  sakit hingga akhirnya tutup mata untuk selamanya. Ia juga tahu persis, adiknya-lah yang setia menunggu siang dan malam istrinya. Dan belum pernah ia melihat ada salah satu dari keempat keponakannya menunggu Ibunya yang berbaring sakit, sakit tidak hanya karena penyakitnya, namun sakit menahan perasaan pada anak-anaknya yang tidak juga kunjung tiba sampai akhir nafasnya.

Bisa jadi itu hanyalah kisah yang terlalu didramatisir, terlalu dibesarkan dan blow-up. Namun, meski kisah, sangat mungkin itu terjadi di dunia nyata, ketika penyadaran diri terkesampingkan dengan sebuah ambisi. Meninggalkan negeri, dengan seribu kesibukan, ditambah ribuan kilometer jarak dengan tanah leluhur, sangat berpotensi menjadikan kisah tadi menjadi kenyataan.

Yang jelas, ada sebagian orang yang tetap bertahan dalam kondisi apapun di negeri sendiri, dekat dengan tanah kelahiran, dekat dengan sentuhan tangan kedua orang tua, dengan mendoktrin diri sebagai mana perumpaan : " Lebih baik  hujan batu di negeri sendiri, dari pada hujan emas di negeri orang. " Bagaimanapun, hidup memang pilihan. Maka, bilapun harus memutuskan untuk pindah kewarganegaraan, jangan pernah melupakan asal-usulnya dan mematri ingatan bahwa yakinlah keberhasilan yang diraih, merupakan salah satu doa dari orang tua. Jangan pernah melupakannya.

Salam di awal tahun Hijriyah, semoga penuh berkah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun