pindah kewarganegaraan. Adapun prespektif yang digunakan adalah melalui pendekatan relegi.
Artikel ini diawali dengan prolog yang utuh, meski hanya kisah fiktif. Namun ada bilur-bilur pilihan diksi kata menjadi kalimat yang terurai dalam bagian kisah tadi yang memerlukan perenungan. Ujungnya, akan menjadi sebuah hikmah, bila akan memilihSeorang Ayah tidak mampu mengeluarkan butiran air matanya. Sudah terkuas luruh dan habis. Sejak dua jam yang lalu, ia bersimpuh di hadapan tubuh yang sudah terbaring tak bernafas. Tubuh seorang perempuan, yang dari rahimnya telah lahir empat anak yang sukses luar biasa. Mereka semua ada di luar negeri, dengan posisi jabatan dan pekerjaan yang gengsi. Bahkan ketiga dari empat anaknya sudah berkeluarga dengan warga setempat, Amerika, Australia, Canada dan Singapura.
Awalnya, empat tahun yang lalu, Sang Ayah tersebut selalu membanggakan anak-anaknya. Ia dan istrinya sangat berbinar ketika ada yang menanyakan bagaimana anak mereka. " Hebat. " Begitu komentar para kolega. Namun, sejalan dengan perjalanan waktu, apa yang dibanggakan dan hebat tersebut seperti meluruh. Bagaimana tidak?
Si Sulung, yang tinggal dan menetap di Amerika, terakhir pulang kampung dan menjenguk ayah dan ibunya lima tahun yang lalu. Ia mengabarkan, sejak memiliki tiga anak kembar dan posisi jabatan di perusahaan, sangat sulit mengagendakan pulang ke Indonesia. Bilapun ada jadwal cuti, ada saja dengan si Kecil, sakitlah, atau istrinya yang gantian sakit.
Yang Kedua, yang di Australia pun tidak beda jauh. Meski dua tahun yang lalu bisa mudik saat lebaran, namun itu setelah Sang Ibu yang kini terbaring tak bernafas menangis dalam telpon, ingin sekali bertemu, karena sudah hampir empat tahun tidak bertemu. Sama alasannya, waktunya sangat sulit bila "hanya" untuk ke Indonesia bertemu orang tuanya.
Yang Ketiga, yang memilih pindah kewarganegaraan di Canada, seperti ibarat layang-layang yang telah putus kendali. Sejak menikah dengan perempuan setempat, hampir belum pernah pulang, mencicipi sambal terasi kesukaan buatan Ibunya. Ada saja alasannya. Bahkan pernah "menyinggung" perasaan Sang Ibu, dengan mengatakan saatnya sekarang untuk sukses dan lebih sukses, tidak boleh tergelincir hanya karena salah langkah dengan menghabiskan waktu cuti ke kampung halaman. Sejak itu kedua orang tua tidak lagi berharap kedatangannya.
Yang keempat, belum berkeluarga. Namun tekadnya ingin bekerja secara profesional dan mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Bahkan ia nekad berpindah kewarganegaraan. Ini yang sangat disesali dan menjadi Sang Ibu terpukul jiwanya. Tubuhnya yang sudah mulai diserang penyakit menjadi rapuh. Ia sakit-sakitan. Telpon dan komunikasi dengan orangpun terbatas bila dan pada jam-jam tertentu. Seolah, keluarga sudah lagi nomor sekian bila dibandingkan arti dari hubungan orang tua dengan anak.
Sang Ayah mengusap matanya. Mungkin, mengusap air matanya, tetesan yang terakhir. Sebab, setelah itu beberapa sanak keluarganya datang dan mendampinginya. Proses pemakaman, sebentar lagi. Sang Ayah sudah memutuskan untuk segera mebawa tubuh istri yang ia cintai ke peristirahatan yang terakhir.
" Tidak menunggu anak-anakmu tiba? " Sebuah suara terdengar lirih. Dijawab dengan gelengan.
" Mereka sudah diberi tahukan? "
Kali ini dengan gelengan kepala. " Mengapa tidak diberi tahu, biar saya yang menghubungi mereka ya? "