Seorang lelaki tua, usianya hampir tujuh puluh lima tahun duduk di teras rumahnya. Di sampingnya, Sang Istri yang juga sudah menua. Beliau berdua, seias sekata dalam duka dan gembira bersama. Mengarungi bahtera rumah tangga dengan segala permasalahan, bisa beliau berdua hadapi dengan sikap yang iklas dan istiqomah bersyukur.
Sang Lelaki menatap puncak bukit yang tak jauh dari ia duduk. Matanya merawang jauh ke sana. Pun, istrinya, lebih banyak diam, namun dari jemari tangan kanannya bergerak perlan. Jemari tersebut terus bergerak dan bibirnya perlahan melafal asmaul Husna. Sang Istri tengah berdzikir. Angin sore itu, berhembus perlahan, terlihat dari dedaunan yang ikut bergerai perlahan.
Di rumah harapan tersebut, keduanya menghabiskan hari-hari. Hampir selalu duduk di situ, menunggu setengah jam datangnya waktu mahgrib. Sebuah kesenyapan yang penuh dengan kerinduan.
Kelima anak mereka sudah berpisah. Mereka hidup dengan pasangannya masing-masih. Meski di luar kota, bila di jangkau dengan kendaraan, tidak lebih dari 2 atau tiga jam. Namun, sesuai dengan kehendak alam, mereka selalu saja disibukan dengan kegiatannya. Kegiatan mengurus rumah tangga mereka, dengan rengekan anak-anak yang kadang tidak enak badan, kurang doyan makan atau sedikit nakal. Belum lagi, harus fokus pada pekerjaan mereka.
Terdengar suara: "Sebentar lagi magrib. Malampun akan tiba."
Senyap lagi. Namun segera dilanjutkan suara Sang Istri : " Ya, Suamiku. Memangnya kenapa? Kok tiba-tiba berkata seperti itu? "
"Tidak apa-apa, hanya saja ingin mengatakan seperti itu. Memang sebentar lagi magrib dan kesenyapan malam akan tiba juga. Sepertinya, jalan kehidupan akan seperti itu. Seperti yang kita alami. Ingat, dulu jam-jam segini, anak-anak kumpul bersama kita. Kamu, mempersiapkan diri untuk makan bersama, sebelum magrib tiba."
"Kangen sama anak dan cucu? Mereka sibuk."
Ada gelengan kepala, namun terasa berat.
"Mereka kan baru dua atau tiga hari yang lalu ke sini. Bahkan hari Minggu kemaren semua kumpul di sini. Makan bersama seperti dulu, bahkan kini sudah ditemani cucu-cucu yang lucu. Lebih ramai dari yang dulu."
Berkata seperti itu, Sang Istri agak berat. Sebenarnya, iapun membenarkan apa yang dikatakan dan bisa jadi di rasakan oleh Sang Suami. Yaitu rasa sepi dari sebuah rasa kangen pada sebuah masa di mana dulu penuh dengan canda tawa bersama anak-anak.
Sang Istri sangat paham, bagaimana dekatnya hubungan Sang Suami dengan anak-anak. Meski capai karena sibuk bekerja seharian, setelah magrib, tetap saja ada waktu untuk membimbing belajar agama maupun membantu menyelesaikan PR sekolah anak-anak.
Begitulah.
Memang benar, secara kodrati. Manusia dilahirkan, tumbuh berkembang menjadi remaja dan pada saatnya hidup bersama pasangnnya. Ia meninggalkan kehidupan masa kecilnya, bersama keluarga barunya. Ada yang tetap saja anak-anak tersebut di tengah kesibukannya, sangat perduli pada orang orangnya. Terkadang hanya dengan sapaan: "Assalamualaikum Bapak, Ibu, sehat ya hari ini. Semoga sehat dan bahagia ya." Sapaan klise namun sangat berarti dan menunjukan betapa erat secara kejiwaan cinta anak pada orang tua mereka.
Saya baca literasi psikologi, pada intinya menyebutkan, betapa kadang orang tua sangat merindukan kehadiran anak-anaknya, walau hanya sedetik tanpa harus membawa buah tangan atau makanan kesukaan mereka. Dalam konteks era digital seperti ini, sangat memungkinkan "say hello" tadi, melalui WA. Lebih utamanya diucapkan melalui telpon, walau tidak ada satu menit.
Jangan sampai, kesibukan bersama pasangan dan anak-anak yang baru, tidak mengagendakan satu menit misal dalam sehari untuk menyapa orang tua. Baru, bila ada masalah, tengah malampun tanpa sungkan menelpon dan minta solusi pada orang tua.
Agar tidak terjebak pada kerinduan dan harapan tua untuk membahagiakannya, maka :
Pertama, sesibuk apapun, orang tua adalah salah satu pintu surga. Jangan lupakan, serta upayakan dan mewajibkan untuk menyapa beliau, menanyakan kabar beliau walau hanya satu menit atau minimal 30 detik setiap hari.
Kedua, mind set menjadi anak berbakti, salah satunya adalah dengan sesering mungkin menjenguknya. Jangan sampai ada penyesalan di kemudian hari, baru ingat bagaimana jasa orang tua setelah orang tua tiada.
Ketiga, jangan pula "lupa diri" pada orang tua saat bahagia, dan menangis tersedu saat dihimpit masalah. Ingat bagaimana perjuangan orang tua bisa mengantarkan anak menjadi seperti yang sekarang. Beliau tidak pernah diberi imbalan serupiahpun. Semua berdasar ketulusan dan kecintaannya pada Sang Anak.
Semoga kita semua menjadi anak-anak yang mengerti, memahami kerinduan orang tua pada anak-anaknya. Ingat, dalam kondisi apapun, orang tua selalu mendoakan anak-anaknya. Namun jangan sampai karena kesibukan, Si Anak lupa mendoakan orang tuanya.
Dan yakinilah, keberhasilan Sang Anak hari ini, adalah karena doa orang tuanya. Jadi sesibuk apapun, sempatkan menyapa orang tua, dan sapaan ini sangat dirindukannya, sebagai salah satu ujud bakti anak pada orang padanya.
Ada seseorang yang mendatangi Nabi SAW, ia ingin meminta izin untuk berjihad. Nabi bertanya, “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?” Ia jawab, “Iya masih.” Nabi SAW pun bersabda, “Berjihadlah dengan berbakti kepada keduanya.” (HR Muslim). Artinya, selagi kedua orang tua masih ada, jadikan beliau sebagai ladang ibadah anak-anak-nya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H