Saya sangat tertarik dengan kalimat bijak seperti ini : Berdoalah agar kamu menjadi ahli sedekah, jangan berdoa agar menjadi kaya.
Dalam konteks relegi, sangat tepat dan benar juga substansi dari kata-kata bijak tersebut. Mengapa? Dengan menjadi ahli sedekah atau suka berbagi dengan orang lain, terlebih berbagi kepada mereka yang sedang dalam kesusahan, akan diberi balasan yang berlipat. Sehingga, semakin banyak dan sering berbagi, semakin mendekatkan diri pada kata "kaya."
Sebaliknya, menjadi orang kaya, belum tentu menjadi ahli sedekah. Banyak orang kaya yang sangat erat mendekap hartanya, yang mengantarkan pada karakter yang pelit, susah berbagi dengan orang lain dan jauh dari kata dermawan. Maka menjadi familiar dan menyentuh kalbu ketika terjadi dialog antara seorang ayah dengan anaknya yang baru saja berdoa.
Ayah : Apa doa yang barusan Ananda panjatkan?
Anak : Ananda ingin menjadi orang kaya, Ayah.
Ayah : Apakah dengan kelak kamu kaya, kamu akan suka berbagi dengan orang lain? Menjadi dermawan, begitu?
Sang Anak mengangguk. Sang Ayah melanjutkan kalimatnya : " Kebanyakan orang meminta pada Tuhan agar menjadi kaya, karena dengan kaya ia ingin nanti bisa banyak berbagi, bersedekah atau berjiwa sosial yang tinggi. Ini harus diubah. Yakinlah, dengan banyak bersedekah, suka berbagi, kamu akan menjadi kaya. Jiwa suka berbagi pada orang lain tidak perlu menunggu kaya. "
Sang Anak kembali menganggukan kepala. Sang Ayah melanjutkan :
"Pahami pula, kaya tidak harus menumpuknya emas berlian, milyaran saldo dalam tabungan, property yang ada di mana-mana. Rasa bahagia, sehat, enak makan, tidak banyak pantangan dalam makan dan minum, itu juga bagian dari makna kaya. "
Saya yakin, ini menjadi pemahaman yang universal. Siapun sepakat bahwa dengan banyak memberi dan pemberian tersebut membawa manfaat bagi orang lain, terlebih yang sangat membutuhkan, akan berbalik sebuah keberkahan, sebuah kebahagiaan pemberianya. Seolah alam semesta-pun mendukung, bahwa jiwa-jiwa sosial yang tinggi, sangat layak diapresiasi dan diberikan sebuah balasan berupa : kekayaan lahir dan batin.
Pada titik tertentu, ketika rasa berat hati untuk mudah berbagi pada orang lain yang membutuhkan, menyadari bahwa apa yang kita miliki sejatinya hanyalah "titipan" Illahi, yang tidak mungkin terbawa hingga mati, maka rasa berat hati itu pasti bisa meluluh. Bila tidak juga bisa meluluh, maka memang mata hatinya, mata batinnya sudah tertutup dan di kunci oleh Yang Maha Kuasa serta akan mendapatkan penyesalan yang tak bisa digantikan dengan kekayaan yang ia miliki.
Adakah cara agar hati kita mudah untuk suka berbagi pada orang lain yang membutuhkan?
Pertama : Paksakan untuk berbagi dari hal-hal yang kecil. Dengan memaksakan diri, lama-lama akan menjadi kebiasaan dan menjadi sebuah keiklasan.
Kedua, setelah terbiasa memberi yang kecil-kecil, tingkatkan kuantitas dan kualitas pemberian. Tidak sekedar uang recehan, tidak sekedar baju bekas pakai, tidak sekedar satu piring makan namun sudah dari lebih dari itu.
Ketiga, yakin bahwa sekecil apapun pemberian pada orang lain, akan berbalas kebaikan pada diri kita maupun keluarga dalam bentuk materi ataupun non materi, yang menjadikan hati penuh dengan rasa syukur dan kebahagiaan.
Keempat, banyak berkaca pada  pengalaman dari orang-orang yang sukses harta, ia mempunyai kebiasaan berbagi pada sesama sejak ia belum mendapatkan kesuksesan tersebut.
Semoga kita menjadi ahli berbagi pada orang lain, tanpa harus menunggu kita kaya raya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H