Mohon tunggu...
Dr. Herie Purwanto
Dr. Herie Purwanto Mohon Tunggu... Penegak Hukum - PNYD di KPK (2016 sd. Sekarang)

Bismillah, Menulis Seputar Hukum dan Korupsi

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Bunga dalam Vas Bertanya

13 Juni 2023   16:52 Diperbarui: 13 Juni 2023   17:44 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada kalanya, penanganan perkara, dalam konteks ini perkara korupsi, mengalami beberapa kendala, sehingga terkesan terlalu lama penyelesainnya bahkan disebut sebagai perkara yang mangkrak. 

Perkara yang demikian, tentunya harus dicarikan solusinya, kenapa, mengapa, harus bagaimana serta penyelesainnya. Karena asas hukum menyebutkan litis finiri oportet, bahwa semua perkara harus ada akhirnya.

Perkara yang mangkrak tadi disebabkan banyak hal, misalnya secara pembuktian belum cukup, sehingga tidak memungkinkan memaksakan perkara maju ke penuntutan. 

Sebab lain, dikarenakan para pihak yang bisa dimintakan pertanggungjawaban pidananya, melarikan diri. Bagaimana dengan adanya masalah "non teknis", yang menyebabkan hambatan? Intervensi misalnya. Ini yang selama ini menjadi asumsi pokok ketika sebuah perkara mangkrak.

Bukan sebuah paradox, bila perkara korupsi mangkrak karena banyaknya kepentingan yang ingin ikut campur. Perkara korupsi, tentu dilakukan oleh mereka yang mempunya kekuasaan, kewenangan dan bertalian dengan kolega, rekanan, baik yang berada di lintas kekuasaan Negara, maupun di luar. 

Namun, dipastikan mereka mempunyai power, sehingga bisa membuat "goyah" pertahanan dalam proses penanganan korupsi.

Bila disebutkan, dalam penangan korupsi, terlebih yang menersangkakan pejabat, tokoh masyarakat, tokoh terkenal, tanpa ada yang ingin cawe-cawe dengan tidak mempengaruhi penyidikan, sepertinya "mustahil." 

Sangat wajar ketika seseorang tiba-tiba yang sudah enak dengan jabatan dan kekuasaan, harus tunduk di muka hukum dan tubuhnya sepanjang hari hingga bulan, harus meringkuk di sebuah ruang sempit dan tidak bisa mempunyai akses keluar menghirup udara segar sesuka hatinya. Segala tindak perilakunya bahkan dikontrol melalui CCTV dan penjagaan yang ketat.

Sehingga ibarat seseorang yang akan tenggelam, maka tangannya berusaha untuk meraih apa saja yang bisa ia raih untuk bisa menjadikan dirinya tidak terbawa arus dan tenggelam. 

Maka, upaya meminta bantuan kolega, rekanan, atasan, pejabat ini, pejabat itu, menjadi sebuah cara yang ia tempuh. Termasuk bagaimana upaya mempengaruhi penyidik dengan janji-janji uang, fasilitas ataupun lainnya yang bisa membebaskan dirinya.

Hanya saja, ada sebuah kode etik dan doktrin yang harus dipegang teguh oleh para penyidik tindak pidana korupsi. 

Mereka secara pribadi mungkin bisa membantu, namun secara kolegial, tidak mungkin bisa mempengaruhi, membisiki, mempola dan menskema-kan sebuah penisbian atau penghilangan fakta-fakta pembuktian yang ada. 

Sangat berlapis tidak bertumpu pada satu orang, untuk membelokan dari fakta terpenuhi unsur korupsi, pada "ketiadaan" pembuktian.

Bilapun pendapat dan tuduhan adanya politisasi sebuah perkara muncul, ini lebih pada asumsi-asumsi dan masalah like and dislike, sehingga mengkambinghitamkan langkah-langkah penyidik menjadi bagian dari konspirasi, perlu pembuktian dan berujung pada tataran pelanggaran kode etik ataupun pidana. Ini sebuah konsekuensi yang fair, dan menjawab asumsi tadi.

Pada akhirnya, perjalanan sebuah perkara harus berujung di muka persidangan, untuk membuktikan benar tidaknya perbuatan tersebut. 

Munculnya prasangka dan asumsi, adanya kepentingan dalam sebuah perkara terlihat dari transparansi tahapan sejak awal perkara dibuka sampai diperiksanya para pihak, termasuk pembuktian di muka persidangan. 

Hal ini sudah disadari, karena era digital sangat memungkinkan memonitor tahapan demi tahapan tadi, sehingga menjadi hal yang kontraproduktif bila ada penyidik yang mau bermain api pada perkara yang ditanganinya. Bakal viral dan tamatlah nama baik dan jabatannya.

Bila sudah demikian, masih adakah nyali untuk mempertaruhkan itu semua? Bila ada, mereka sudah banyak yang kini terlempar di penjara sebagai aparat penegak hukum yang memang layak dihukum, bilapun masih ada yang berkeliaran, yakinlah hati nuraninya pasti akan berteriak : aku mengkhianati sumpah dan janjiku. 

Bila hati nuraninya tidak berkata seperti itu, sebuah pertanyaan dari bunga dalam vas layak diajukan padanya : siapa kamu sebenarnya? Manusia atau.......

Salam Anti Korupsi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun