Saya mengibaratkan, perjalanan sebuah perkara di KPK, dari awal perkara diidentifikasikan sebagai sebuah tindak pidana, melalui beberapa proses dan melibatkan banyak orang. Ibaratnya, perjalanan perkara tadi, menggelinding dalam sebuah slang yang transparan, sehingga setiap guliran tahapan, akan bisa terlihat.Â
Begitupun bila ada upaya pembelokan, dipastikan akan terpantau juga. Menjadi sebuah analog : di KPK tembokpun bisa berbicara. Artinya, apa yang terjadi, dengan mudah pihak publik dapat memantaunya melalui "tembok" yang berbicara tadi. Bila sudah demikian, masihkah muncul narasi adanya sebuah intervensi bagi sebuah perkara korupsi di KPK?
Dalam beberapa artikel saya tentang bagaimana perkara yang ditangani di KPK berproses, akan memunculkan sebuah stigma tidak mudah "mengendalikan" perkara. Walaupun ini, untuk para pihak yang selalu kontra memandang KPK secara negatif, tetap pada sebuah keyakinan ada power yang bisa cawe-cawe, mengarahkan dan menjadikan hitam putihnya sebuah perkara.Â
Bila ada upaya untuk ke arah tersebut, sangat mungkin terjadi, karena namanya manusia, tentu tidak lepas dari adanya keinginan-keinginan tertentu. Namun, semangat dan prinsip untuk tidak terlibat dalam konflik kepentingan (conflict of interest) kemungkinan tadi harus berhadapan dengan pola "pengawasan" yang berlapis dan tidak mudah untuk dilewati. Alhasil, proses penanganan korupsi di KPK adalah murni karena proses hukum, bukan proses yang terlapisi oleh kepentingan di luar hukum itu sendiri.
Sudah banyak pegawai KPK, baik dari unsur pimpinan maupun pelaksana, yang mencoba bermain-main api dengan perkara, ia terjebak dan terbakar sendiri sehingga harus berurusan dengan Kode Etik, bahkan proses pidana yang kemudian melahirkan putusan dipecat dengan tidak hormat. Â Â
Melalui artikel ini, saya ingin pihak-pihak yang selama ini mempunyai tuduhan, prasangka negatif pada kinerja KPK, lebih-lebih mereka yang pernah bekerja di KPK, dan sekarang sudah berada di luar KPK, tidak dalam posisi menisbikan nilai-nilai idealisme yang masih terpatri di sebagian besar pegawai KPK, untuk bekerja dengan baik.Â
Seolah hanya "mereka" yang paling hebat, paling idealis dan paling bisa bekerja di KPK. Ingat, siapapun bisa berkomentar menyalahkan pemain saat pertandingan berlangsung, sampai ia tidak menyadari dirinyapun sebenarnya saat menjadi pemain, tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya omong doang, begitu narasi sebenarnya.
Salam Anti Korupsi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H