Mohon tunggu...
Dr. Herie Purwanto
Dr. Herie Purwanto Mohon Tunggu... Penegak Hukum - PNYD di KPK (2016 sd. Sekarang)

Bismilah, Menulis Tentang Korupsi

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Dieng Masih Menebar Pesona (2)

7 Juni 2023   06:12 Diperbarui: 7 Juni 2023   07:13 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekitar jam 08.00 saya sudah bergeser dari Batu Pandang Ratapan Angin, menuju Kawah Sikidang. Jaraknya tidak jauh, bahkan kepulan asap Kawah Sikidang tadi sempat nampak dari ketinggian Batu Pandang Ratapan Angin. 

Suasana hijau tetumbuhan sepanjang perjalanan menuju Kawah Sikidang, terasa memanjakan pandangan. Pun, juga bebukitan yang penuh dengan tanaman sayuran, dari kentang, tomat atau cabai. 

Bebukitan tersebut, dulu ditumbuhi tanaman pinus dan tanaman hutan lainnya, Baru beberapa tahun, mungkin dua puluh tahunan belakangan, sudah berubah, menjadi tanaman sayuran tadi.

Untuk menuju Kawah Sikidang, tidak lebih dari 10 menit dari Batu Pandang Ratapan Angin. Sebelum tadi mobil berjalan, saya sempat mengambil gambar tanaman yang mirip pepaya, mungkin masih satu spesies. 

Tanaman tersebut buahnya kecil-kecil, tidak lebih dari kepalan tangan orang dewasa. Bila matang kulit buah berwarna kuning. Buah tersebut namanya kareka (careca). Oleh warga Dieng, buah tersebut dikelola menjadi minuman segar dalam kemasan yang menjadi salah satu ciri khas oleh-oleh Dieng.

Foto Dokumen Pribadi
Foto Dokumen Pribadi

Dari jalan beraspal, sekitar 150 meter jalan menyempal berbatu harus ditempuh, untuk masuk ke kawasan Kawah Sikidang. Kawah Sikidang sendiri merupakan salah satu kawah yang ada di Dieng. 

Terletak di Desa Dieng Kulon, Kabupaten Banjarnegara. Masuk ke kawasan, harus membayar parkir Rp. 5000, tanpa diberikan tiket. Saat saya tiba, sudah banyak pengunjung lainnya. Beberapa bus ukuran kecil sudah nampak parkir di sana.

Saat akan masuk ke lokasi, masing-masing orang ditarik uang Rp. 10.000, tanpa diberikan tiket. Saya sempat tanya kenapa tidak diberi tiket. Oleh "petugas" yang tidak berseragam dan mereka semua lelaki tidak menjawab.  

Setelah kaki melangkah mendekati gapura kawasan Kawah, saya mendengar seorang perempuan yang mengeluhkan uang tanda masuk tadi yaitu Rp. 20.000. " Kok beda ya, ada yang Rp. 10.000, kita tadi Rp. 20.000. " Begitu.

Foto Dokpri
Foto Dokpri

Saya kaget juga ketika di dekat gapura masuk ada loket yang tidak difungsikan karena tidak ada yang jaga di sana, tertulis Rp. 20.000. Begitulah. Diliputi tanda tanya tentang pengelolaan destitasi Kawah Sikidang. Dari tadi parkir dan tiket yang tanpa karcis restribusi maupun pungutan tanda masuk oleh orang-orang "yang tidak jelas" identitasnya.

Saya hilangkan tanda tanya tadi, dengan pandangan penuh takjub ke kepulan asep belerang yang keluar dari Kawah Sikidang. Untuk menuju titik kawah, harus berjalan melalui "koridor" kayu yang meliuk dan kokoh. 

Beberapa orang, seperti saya terpaksa harus mengenakan masker, karena bau belerang yang sangat menyengat. Agak sedikit tegang juga berada di area Kawah Sikidang, kenapa? Ini dikarenakan, beberapa bulan yang lalu, awal tahun, kawah Sikidang ini sempat berubah status, dari normal menjadi waspada. Dieng masih masuk dalam satu Gunung  Api, sehingga selalu dipantau oleh petugas.

Foto: Dokpri
Foto: Dokpri

Menikmati keindahan Kawah Sikidang, sepertinya berada di tengah-tengah "tambang belerang". Sepanjang pandangan adalah lahan seperti kapur, memutih dan pada kubangan tertentu mengalurkan asap belerang yang menyengat. Oleh masyarakat setenpat batu-batu belarang dikemas dalam plastik dijual pada wisatawan. Manfaatnya konon untuk penyembuhan penyakit gatal-gatal dan jerawat.

Melihat letupan-letupan kecil, sesekali letupan tersebut membentuk gelembung kemudian pecah, menjadi pemandangan yang khas dan fenomena tersendiri bagi Kawah Sikidang. Untuk menikmati dari dekat, tidak bisa langsung, karena oleh pengelola diberi batasan pagar sebagai batas aman. 

Bila ingin beristirahat, disediakan gazebo-gazebo maupun "rest area", dengan sudut pandang ke arah letupan-letupan gas yang berbau belerang tadi. Tidak lepas dari pandangan sekitar Kawah, yaitu adanya lintasan pipa-pipa dengan diameter yang hampir 50 cm, hingga 1 m, yang mengular, di kelola oleh perusahaan gas.

Kawah Sikidang, dikutip dari berbagai sumber, ada legenda menarik yang menyertai keberadaannya. Konon masa lalu ada gadis cantik bernama Shinta Dewi. Banyak pemuda yang ingin meminang-nya, namun banyak pemuda yang mundur teratur, karena syarat mas kawin yang diajukan sangat besar. 

Sampai akhirnya, terdengar oleh seorang pemuda bernama Kidang Garungan, pangeran yang kaya raya. Hanya saja, walau kaya raya tubuh Kidang Garungan berbeda dengan manusia biasa. 

Tubuhnya manusia namun kepalanya berupa kepala kijang.  Shinta Dewi menerima lamaran Kidang Garung yang datang dengan perwakilan. Begitu bertemu dengan Kidang Garung, alangkah kagetnya Shinta Dewi, sehingga dicarilah akal agar lamaran bisa dibatalkan.  

Shinta Dewi meminta "permintaan yang aneh" agar tidak bisa dipenuhi, yaitu agar dibuatkan sumur yang dibutuhkan masyarakat setempat dalam waktu satu hari. Kidang Garung menyanggupinya. 

Dalam proses pembuatnnya, khawatir sumur benar-benar bisa dibuat, saat Kidang Garung di dasar sumur, Shinta Dewi meminta warga untuk menimbunnya. Tentu saja Kidang Garung marah besar, tubuhnya akhirnya tertimbun tanah. Amarah itulah yang kemudian membentuk Kawah Sikidang.

Foto Dokpri
Foto Dokpri

Terlepas dari legenda tersebut, Kawah Sikidang benar-benar memunculkan rasa takjub pada Sang Maha Kuasa, yang telah menganugerahkan Dieng dengan segala keindahan sekaligus potensi alam yang bisa memberikan manfaat bagi kehidupan manusia. Tentulah, menjadi sebuah kesadaran bersama, untuk bisa merawat dan menjaga kelestarian apa yang sudah dianugerahkan Tuhan pada kita semua.

Salam Kelestarian Alam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun