Mohon tunggu...
Dr. Herie Purwanto
Dr. Herie Purwanto Mohon Tunggu... Penegak Hukum - PNYD di KPK (2016 sd. Sekarang)

Bismillah, Menulis Seputar Hukum dan Korupsi

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Hukum Itu Keras, Tapi Kenapa Berulang? (Sebuah Satire)

24 Mei 2023   08:12 Diperbarui: 24 Mei 2023   11:16 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lex dura sed  ita scripta, hukum adalah keras, tetapi harus ditegakkan. Setidaknya ini menjadi filofosi, mengapa akhirnya Mahfud yang kini menjabat sebagai Pelaksana Tugas Menteri Komunikasi dan Informatika (Plt Menkominfo) menggantikan Johnny G. Plate ini memastikan, tidak ada kaitan kasus yang ditangani oleh Kejaksaan Agung tersebut dengan politik bahkan calon presiden (capres) tertentu. "Tidak peduli siapa pelakunya, ini hukum. Saya sampaikan, ini bukan politisasi, jadi enggak ada kaitannya dengan pemilu, dengan calon pilpres," kata Mahfud Md kepada wartawan di Istana Negara Jakarta, Senin (22/5/2023). Mahfud mengatakan penyidikan kasus ini sudah dimulai sejak Juni tahun 2022. Sebab kejanggalan mulai kasus ini terendus saat pihak pengguna dana yakni Kementerian Kominfo menunda laporan pertanggungjawabannya dari Desember 2021 hingga Maret 2022, dikutip dari liputan6.com.

Seorang Menteri, dikenakan pakaian ungu, tangan diborgol. Menjadi sebuah pemandangan yang mengelukan. Seolah, hukum telah melakukan "kekejaman" dengan penelanjangan sosial seperti itu. Tidak ada toleransi, tidak ada upaya penghalusan atas fakta tersebut. Bagaimana keluarganya? Sanak Saudaranya? Koleganya? Institusinya? Hukum, tidak memerdulikan itu semua. Apalagi bila dikaitkan dengan politisasi. Tentu sangat tidak relevan. Hukum ya seperti itu.

Dalam kasus tersebut, Johnny G Plate tersangka kasus proyek BTS Kominfo itu mendapat ancaman hukuman penjara seumur hidup. Plate dijerat dengan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Bunyi pasal dan ancaman pidannya sebagai berikut :

Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor menyebutkan setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun dan denda paling sedikit 200 juta rupiah dan paling banyak 1 miliar rupiah.

Pasal 3 menyebutkan setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau karena kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit 50 juta rupiah dan maksimal 1 miliar.

Dengan melihat ancaman pidananya, bila hakim kelak menjatuhkan putusan secara maksimal, maka Johnny G Plate dipidana 20 tahun. Sebuah masa waktu yang tentunya tidak sebentar dan akankah ini memberikan efek jera bagi siapa saja yang "saat" ini tengah asyik melakukan korupsi dan belum tertangkap oleh aparat penegak hukum? Hukum memang kejam, tetapi begitulah yang tertulis, lex dura, sed tamen scipta.

Melihat narasi ancaman pidana, seharusnya menyadarkan seseorang untuk tidak berbuat dan tidak melakukan korupsi. Atau mungkin tetap nekad melakukan dengan pertimbangan :

Pertama, ah, siapa tahu dengan korupsi tidak terendus oleh Aparat penegak Hukum. Bilapun nanti ketahuan dan tertangkap, kan ada masa pengurangan penahanan? Misalnya dijatuhi hukuman 20 tahun, akan "dapat" pengurangan-pengurangan selama menjalani pidana di Lembaga Permasyarakatan, yang penting berbuat baik, sopan dan menyumbang ini dan itu?

Kedua, bukankah orang yang tertangkap korupsi, begitu keluar kelak dari masa tahanan masih "mendapat" tempat di masyarakat? Masih bisa melambai-lambaikan tangan? Masih bisa diterima untuk eksis di media sosial?

Ketiga, toh belum ada UU Perampasan Aset, sehingga aset yang  "tersembunyi" dan tidak tercover oleh Aparat Penegak Hukum, masih memungkinkan tidak disita atau dirampas oleh Negara?

Tiga hal ini bisa jadi yang akhirnya "menjadi" pertimbangan untuk tetap melakukan korupsi di negeri ini. Entahlah, sampai kapan rakyat di negeri ini harus  terus berjuang bersama memberantas korupsi.

Salam Anti Korupsi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun