Mohon tunggu...
Dr. Herie Purwanto
Dr. Herie Purwanto Mohon Tunggu... Penegak Hukum - PNYD di KPK (2016 sd. Sekarang)

Bismilah, Menulis Tentang Korupsi

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Semburat Titik Nol (Sebuah Dialog Imajiner)

23 Mei 2023   07:30 Diperbarui: 23 Mei 2023   08:09 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada sebuah waktu, ada sebuah dialog imajiner antara saya dengan seorang koruptor yang baru saja mendapat vonis dari hakim, bahwa ia dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana korupsi yang menyebabkan kerugian Negara 100 Milyar. Pengadilan mewajibkan ia mambayar ganti rugi senilai 90 Milyar. Atas putusan ini ia menerima, tanpa ada upaya untuk banding.

" Mengapa Saudara langsung menerima putusan tersebut? "

" Tidak ada untungnya bila saya mengajukan banding. Bisa-bisa malah nanti hukuman saya diperberat. Lagian saya sudah lelah mengikuti proses hukum ini. Biar ini saya jalani. "

" Saudara pasrah? "

" Sangat pasrah. "

" Sejak kapan sikap pasrah ini muncul dan bisa dijelaskan pasrah dalam konteks yang bagaimana?"

" Sejak saya tertangkap dan dinyatakan sebagai tersangka. Kepasrahan saya benar-benar kepasrahan seorang manusia yang ternyata sangat lemah dan tidak punya kuasa apa-apa, kecuali Alloh. "

" Dari mana muncul kesadaran seperti itu?"

" Dari dulu saya percaya itu. Yang selalu saya ingat adalah : pada saat Kamu dalam keadaan tiada berdaya lagi, disitulah bahwa akan disadari yang tinggal kamu punya adalah Alloh. "

" Masya Alloh. "

" Saudara mengucapkan seperti ini, kenapa baru muncul setelah benar-benar tidak ada lagi yang ada di belakang Saudara? Bukan saat Saudara berkuasa, tanda tangan saudara mempunyai pengaruh atas sebuah kebijakan dan menyangkut hajat orang banyak, atau pada saat semua Saudara miliki? Dalam keandaan seperti tiada yang mau membantu Saudara, Saudara bersikap demikian "

" Belum terlambat untuk menyadari sebuah langkah yang salah. "

" Saudara begitu yakin, seolah kejadian ini menjadi awal kehidupan untuk babak yang lebih baik lagi?"

" Ya, kesadaran itu tengah saya bangun dan kuatkan. Hidup akan lebih baik lagi ke depan, walau faktanya, keluarga sudah meninggalkan saya, anak, istri, harta dan kolega dan semua. Tapi, semakin  saya sadari itu, semakin menguatkan bahwa hanya mendekat pada Alloh, semua keraguan untuk menjalani hidup labih baik legi ke depan menjadi  lebih mantap. Soal apakah nanti tentang keluarga, teman dan harta kembali atau tidak, menjadi urusan nomor ke sekian kalinya. Saya hanya ingin focus untuk lebih baik lagi. Menebus semua ini.  Kesadaran kadang datang begitu tiba-tiba, namun ada juga yang butuh waktu lama untuk bisa bertemu dengan kesadaran tersebut"

" Masya Alloh. "

Sepertinya, ada binar-binar kesungguhan pada wajah sang koruptor. Memang, ia tidak lagi tersenyum dan melambaikan tangan saat langkahnya meninggalkan persidangan di liput banyak media. Ia hanya menunduk dalam-dalam, penuh dengan sikap pasrahnya.

Bukan hanya masalah korupsi sebenarnya ketika sebuah peristiwa menyadarkan seseorang, mengingatkan bahwa hidupnya yang tergelincir tadi, harus ditebus dengan perubahan sikap dan perilaku. Ia abaikan semua untuk menjadikan seolah lahir kembali, menjadi pribadi yang benar-benar dekat pada Sang Pemilik Kehidupan ini.

Ada yang menemukan diri yang hilang setelah mengalami sebuah kecelakaan, memperoleh cobaan hidup yang bertubi-tubi, atau bahkan saat tiba-tiba karir yang telah dibangun, tiba-tiba terhempas oleh sebuah peristiwa kecil yang ia alami. Kesadaran untuk kembali menjadi lebih baik, menjadi nilai-nilai universal yang sangat mungkin terjadi dan menimpa siapa saja. Seolah menjadi lintas agama, lintas negara, usia maupun gender.

Permasalahnya ada pada masing-masing individu, kapan dan momen apa yang bisa menyadarkannya. Meski ada juga manusia yang tidak pernah merasakan momen untuk tersegerakan "kembali ke nol " dan introspeksi diri. Seolah hidupnya norma-normal saja, bila ada kejadian yang menyentak kalbu-nya, dianggap sebagai bagian atau proses dari kehidupan itu sendiri dan tidak mengaitkannya sebagai teguran dari Yang Di Atas Sana.

Salam hormat selalu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun