Mohon tunggu...
Dr. Herie Purwanto
Dr. Herie Purwanto Mohon Tunggu... Penegak Hukum - PNYD di KPK (2016 sd. Sekarang)

Bismilah, Menulis tentang : - Korupsi dan Bunga Rampai (2022) - Korupsi (2023) - Hukum dan Korupsi (22 Oktober 2024 sd. sekarang) - Sebelum aktif di Kompasiana (2022), menulis di Jawa Pos, Suara Merdeka, Tribun dan Beberapa Media Internal Kepolisian. (Masuk Dalam Peringkat #50 Besar dari 4.718.154 Kompasianer Tahun 2023)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Manusia Bertenda Liar dari Balik Bordes Tawang Jaya

3 Mei 2023   16:47 Diperbarui: 3 Mei 2023   17:05 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto Dokumen Pribadi

Beberapa artikel saya, banyak yang terinspirasi seputar kereta, stasiun, gerbong dan rel serta peron. Karena, salah satunya memang seringnya saya berinteraksi atau bertemu dengan "media" tersebut. Kali inipun demikian, ketika hari Senin jam 11.31 start dengan kereta Tawang Jaya menuju Pasar Senen Jakarta. Taka da yang menarik perhatian saya di hampir hampir 98 % perjalanan. Baru ketika, mendekati lima menit terakhir, antara Stasiun Jatinegara dan Stasiun Pasar Senen, saya sudah berdiri, mengambail tas dan jinjingan bawaan.

Saya sudah berdiri di bordes, antara Gerbong 5 dan 6. Begitu pandangan saya arahkan ke luar, terlihat deretan pemandangan yang "mengharu-birukan" perasaan. Tenda-tenda darurat yang menempel pada dinding pagar tanah sepanjang milik PT KAI dengan jalan di sepanjang pemukiman penduduk. Terlihat jelas, tenda-tenda tersebut berpenghuni. Banyak di antara mereka terlihat masih rebahan, tidur beneran, memasak atau sekedar berkumpul di depan tenda-tenda tersebut. (Mungkin karena diambil dalam kondisi kereta berjalan, hasil foto tidak bening). Foto-foto yang saya ambil, menjadi bukti narasi saya ini.

Dokpri
Dokpri
Foto Dokumen Pribadi

Saya biasa lewat di jalur tersebut, namun biasanya malam atau dini hari, sehingga tidak bisa secara jelas merekam dengan panca indera atau dalam kamera. Kebetulan kali ini, perjalanan saya siang hari, sehingga memungkinkan melihat pemandangan itu semua.

Dalam benak saya langsung menyeruak beberapa pertanyaan secara beruntun. Apakah keberadaan mereka dibiarkan oleh para stakeholders? Apakah mereka pernah diberikan penjelasan bahwa tinggal di tempat tersebut bukan saja tidak layak, namun membahayakan keselamatan mereka? Toh yang tinggal di tempat tersebut bukan hanya orang dewasa, namun terlihat banyak juga anak-anak? Dan deretan pertanyaan lainnya yang membuncah.

Saya perhatikan, memang tenda-tenda tersebut jelas liar, karena didirikan sekedarnya. Namun, sepertinya sangat kontras dengan keberadaan bangunan permanen, gedung-gedung tinggi atau infrastruktur lainnya yang tidak jauh dari tempat tersebut. Sebuah paradoks yang benar-benar di depan mata. Mungkin apa yang ada dalam benak saya ini, menjadi sebuah anti klimaks atas pertanyaan sejenis, bahwa di Jakarta, bukan hanya sepanjang rel Jatinegara hingga Pasar Senen berdiri tenda-tenda liar, namun akan banyak puluhan, ratusan atau ribuan Titik di Jakarta ini.

Dan keheranan saya ini sudah pasti basi, karena permasalahan ini sudah berkali-kali dimunculkan, diviralkan atau bahkan sudah mendapat respon dari stakeholders, dengan memasang papan bertulis : " Dilarang membangunan bangunan liar di sepanjang jalan ini. " Dan para penghuninya saja yang nekad. Terus apa masalahnya?

Dokpri
Dokpri
Foto Dokumen Pribadi

Artikel ini bukan dalam kapasitas untuk bisa menggugah respon ulang para stakeholders, yang saya yakin sudah bertindak berulang-ulang, menghalau mereka, namun tidak mempan juga dan sifatnya hanya sementara saja. Pada momen-momen tertentu, misal ada Kepala Negara yang akan melakukan perjalanan melalui jalur kereta tersebut, dipastikan tenda-tenda liar tersebut akan segera hilang dan akan muncul beberapa hari kemudian. Begitu seterusnya.

Jadi, titik suara yang ingin dikumandangkan adalah, apakah mereka yang tinggal di tempat tenda-tenda tersebut memang adalah pendatang, yang tanpa mempunyai keahlian apapun, nekad mengadu nasib ke Jakarta yang konon bergelimang rupiah atau mudah untuk mencari uang, dibandingkan bila tetap bertahan di daerah asalnya? Mungkin ini yang terjadi. Namun bila ada di antara mereka yang nekad memilih tinggal di tempat tersebut karena memang sudah tidak punya tempat tinggal lagi di daerah asalnya, apakah mereka tidak berhak untuk diperhatikan oleh Negara agar hidup lebih layak lagi?

Semoga ada yang tergerak membantu "mereka"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun