Sepasang kaki, perlahan menatap trap-trap tangga. Pemilik sepasang kaki tersebut, begitu yakin ia mampu melewati hingga puncak tangga. Walau ia sadari tangga tidak lurus, namun kadang berbelok dan terus naik tajam. Untuk ukuran usia-ia sadar diri, sehingga ia atur nafas dan langkah. Meski pelan namun menjadi sebuah kepastian. Rasa senang dan bahagia menghujam dadanya, sehingga dengan cara seperti itu ia yakini bisa menjalankan misinya dengan baik. Satu hal lagi yang ia pasang kuat dalam dirinya, adalah keiklasan ketika ia memulai ayunan kaki menaiki trap-trap tangga tersebut.
" Saya harus memaksa kaki ini melangkah. " Ucap batinnya.
"Mengapa? " Bersamaan muncul pertanyaan.
" Karena dengan memaksa diri, saya bisa raih kemenangan. "
" Yakin? "
" Insha Alloh, untuk berbuat baik, menjalankan ibadah, perlu juga pemaksaan diri. Kita jangan kalah dengan hasrat, emosi atau ketidaksiapan diri. Siap atau tidak siap, harus siap. "
Begitu kata batin yang menjelma menjadi sebuah dogma yang menginternalisasikan pada perbuatan yang nyata.
Sebuah tangga yang kita lalui, berawal dari trap yang pertama, kedua, ketiga dstnya hingga ke trap terakhir tangga tersebut. Bila tangga yang akan dilalui ada puluhan trap, tentu sudah dipersiapkan sebarapa kemampuan kita untuk menapak tangga tersebut. Jangan sampai, tenaga habis di tengah jalan, sehingga diputuskan untuk kembali turun. Namun ada kalanya, meski di tengah trap tangga tenaga seperti sudah habis dan tidak mampu lagi, ada yang mengatur siasat dengan berhenti beberapa helaan nafas, baru kemudian melanjutkan menapak tangga dengan langkah yang lebih pendek dan perlahan. Baginya, yang utama adalah bisa sampai pada puncak tangga.
Pun demikian halnya, ketika di hari puasa di bulan Ramadan, yang sudah terlalu beberapa hari yang lalu. Sekarang, sudah hampir finish di puncak tangga. Bila kemudian ada rasa seperti tak kuasa untuk meneruskan rangkaian ibadah puasa, tentu menjadi sebuah keprihatinan. Karena seharusnya, justru dalam posisi sekarang, dengan sisa tenaga yang ada, kaki harus lebih kuat menapak sisa hari dengan kualitas ibadah yang lebih bagus. Ada malam yang dijanjikan Alloh, lebih utama dari 1000 bulan bila melakukan kebaikan-kebaikan. Malam tersebut adalah Lailatul Qodar, seolah teranalogkan sebagai puncak tangga tadi.
Walaupun, diimani datangnya Lailatul Qodar pada malam-malam ganjil di sepuluh hari terakhir bulan Ramadan, namun bukan berarti tidak mungkin turun selain malam-malam tersebut. Semua adalah Kuasa Alloh SWT.
Sebagai sebuah pemaknaan kasih sayang Alloh pada hamba-nya yang melakukan ibadah dengan sungguh-sungguh, maka Lailatul Qodar menjadi dambaan setiap hamba-Nya yang penuh iman tidak goyah dalam menjalankan apa yang diperintahkan-Nya dengan penuh keiklasan. Bukankah sabda Rosululloh SAW sudah mengingatkan : " bersungguh-sungguhlah pada perkara yang bermanfaat bagimu?" Tentu kita tidak ingin masuk dalam golongan orang yang abai untuk bersungguh-sungguh sepenuh jiwa dan raga mengisi Ramadan dengan ibadah semaksimal mungkin.
Namun miris rasanya melihat fenomena yang sudah menjadi fakta, justru di hari-hari "puncak ibadah" ini saf-saf solat jamaa di masjid, sudah menggeser ke saf pertama. Pada awal Ramadan, dipastikan banyak musola dan masjid yang menambah gelaran tikar atau karpet hingga halaman untuk menampung antusias jamaah. Solat jamaah subuh-pun penuh. Di sepuluh hari terakhir Ramadan, justru sebaliknya tempat perbelanjaan seperti mall yang penuh siang hingga malam. Seolah, menjalankan sunnah-sunnah di bulan Ramadhan menjadi dinomor sekian-kan, sebaliknya urusan dapur, pakaian baru dan sejenisnya menjadi perioritas. Apa yang sering diingatkan pada khotib di awal Ramadan, untuk tidak lengah dan kendor mengisi hari-hari hingga detik malam takbiran tiba dengan ibadah, menjadi himbauan masuk telinga kanan dan langsung keluar di telinga kiri.
Bila sudah demikian, sebagaimana menapak tangga tadi, banyak yang sudah "patah arang" sebelum mencapai puncak tangga. Akhirnya apa yang didapat di malam takbiran? Adakah kegembiraan sejati yang ada dalam hati? Atau sebuah penyesalan karena Ramadan lewat begitu saja dan tidak tahu apakah Ramadan berikutnya bisa berjumpa lagi? Wallahu a'lam bishawab.
Selamat Beritikaf, Salam Hormat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H