Beberapa orang, duduk di Peron Stasiun Besar Pekalongan. Mereka sudah duduk, dengan beberapa barang bawaan seperti ransel, tas jinjing atau koper. Ada juga tas plastik berisi bekal makanan dan minum. Dipahami, karena untuk bekal makan sahur nanti dalam perjalanan.Â
Meski di sepanjang perjanalan kereta, crew resto kereta putar balik menawarkan menu makan dan minum, namun, sepertinya dengan membawa bekal sendiri, akan lebih memaknai makan sahur.Â
Ya, termaknai karena bisa jadi yang menyediakan atau membungkuskan bekal sahur itu adalah istri, ibu atau anak-anak, yang secara batin, dengan menikmati hidangan saur tersebut seolah berada di tengah-tengah mereka.
Dari para calon penumpang kereta, sekitar empat puluh saya menunggu di Peron, terpecah dalam dua kelompok.
Satu kelompok menunggu datangnya Kereta Ciremei dari Bandung, sedang satunya menunggu kereta Tawang Jaya Premium yang akan menunju Pasar Senen Jakarta.Â
Meski dua kepentingan yang beda, namun nampak satu keseragaman dalam kemenungguan di Peron tersebut. Apa? Yaitu keberdiaman dan seolah konsen pada gadget yang dibawa.Â
Tak ada satupun yang bercakap dengan sesama penumpang yang ada di Peron, kecuali mereka yang memang datang berdua, bertiga atau berempat. Bisa jadi satu rombongan, sehingga memang ada komunikasi sebelumnya.
Begitulah, di area publik seperti peron atau tempat menunggu lainnya, kebiasaan untuk sibuk dengan kegiatan sendiri sudah menjadi sebuah fenomena.Â
Sepertinya melihat antar penumpang yang menunggu waktu dengan saling berinteraksi, berkomunikasi, bertukar alamat, bertukar informasi, menjadi sesuatu yang "langka banget" untuk dijumpai.Â
Itu seolah waktu menunggu menjadi paradoks untuk dimanfaatkan dengan mengenal siapa yang ada di sebelah, di depan atau di samping kita.Â
Sedang bergembirakah ia, sedang susahkah ia atau sedang butuh sesuatu yang mungkin bisa saling membantu, minimal dalam bentuk informasi. Namun, ini seperti khayalan saja. masing-masing sangat kentara, nisbi dalam keperdulian.
Dalam konteks pembaharuan iman di bulan Ramadan ini, tentunya kondisi seperti tadi tidak seruas atau bisa dikatakan bersilangan. Karena semestinya, sebagaimana yang diajarkan oleh Rosul SAW, menjadi sebuah keutamaan bagi siapa saja yang menyukai untuk menyapa terlebih dulu bila bertemu dengan orang lain, apalagi yang sudah saling mengenal.Â
Dikutip dari Abu Umamah, bahwa Rosululloh bersabda : Orang yang paling berhak dengan rahmat Alloh adalah orang yang mengawali salam di antara mereka ( HR Abu Dawud).
Nah, menyapa duluan saja menjadikan rahmat Alloh menghampiri, apalagi berlanjut dengan sekedar bertukar informasi, yang dari bertukar informasi ini bila berlanjut pada hal-hal yang positif, misalnya tentang informasi pekerjaan, informasi bisnis atau hal lain yang baik-baik?
Dengan menisbikan sapaan dan komunikasi, maka yang muncul kemudian adalah keheningan, ketidak perdulian hingga menunjukan bahwa memang sepertinya manusia lahir dengan sifat ego yang tinggi, yang cenderung untuk tidak perduli apa yang terjadi di luar diri sendiri.Â
Sebagai bagian dari pembaharuan iman di Ramadan ini, ada sebuah komitmen yang perlu untuk dibangun ulang, yaitu keringanan mulut dan sikap untuk membiasakan kembali fenomena lama, yaitu mengawali sapaan dengan orang di sekitar, sebagai langkah awal membangun komunikasi saat di Peron,Â
Di atas kereta dengan orang di bangku sebelah, dengan sopir taxi yang membawa kita pada tujuan, dengan petugas sampah yang mengambil sampah di lingkungan tempat tinggal kita dan dengan semua yang kita temui dalam konteks niat mengesampingkan sifat ego tadi.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H