Foto Dokumen Pribadi
Pada malam ketiga belas solat tawarih Ramadan tadi malam, alhamdulilah saya bisa bergabung di antara jamaah sholat tarawih di Masjid Jami Tangkuban Perahu, Guntur, Setiabudi Jakarta Selatan. Sebagaimana pelaksanaan solat tarawih pada umumnya, dilaksanakan setelah melaksanaan solat isya berjamaah. Imam solat tarawih dipilih seorang hafiz Alquran. Kemerduan bacaan dan begitu tartil, sangat terdengar melalui sound Masjid yang bening dan jernih.
Hal istimewa dan menarik perhatian saya di masjid tersebut adalah adanya bentangan kiswah yang merupakan replikasi kiswah atau kain penutup kabah di Masjid Haram. Sehingga, suasana seperti itu setidaknya lebih membantu kekhusukan pelaksanaan ibadah solat. Seolah, menempatkan diri di depan kabah. Masya Alloh. Ukuran kiswah tersebut, menurut perkiraan saya, tidak beda jauh dengan aslinya, hanya saja, diambil pada salah satu bagiannya. Dikutip dari bpkh.go.id, kiswah dihiasi oleh kaligrafi ayat-ayat suci Alquran, terutama surat Al Iklah, serta kalimat Allahu Akbar dan syahadat.
Bisa jadi, solat dihadapan replika kiswah, mengingatkan kebaradaan Kabah. Bagi yang pernah umroh atau haji, tentu hal tersebut meneguhkan memori saat berada di tengah-tengah masjidi Haram. Namun bagi yang belum berkesempatan, tentu hal tersebut bisa menjadi media kerinduan dan menebalkan kekhusyukan dalam berdoa, agar diberikan kemudahan benar-benar berada di Masjidil Haram.
Solat Tarwih yang menjadi bagian dari ibadah puasa ramadan, memberikan hikmah pada manusia untuk bisa membagi waktu. Siang hari melaksanakan aktifitas, bekerja dengan melaksanakan puasa, malam hari-nya, tetap menyisikan waktu untuk beribadah. Sebelum akhirnya menutup dengan tadarus atau lanjut istirahat malam, menjemput ujung malam untuk bangun sahur.
Sebuah perjalanan anak manusia, untuk menyisikan 30 hari penuh dengan pujian asmaul husna, memperbanyak sedekah, solat sunnah hingga tadarus dan mentadaburi Al Quran. 365 hari dalam setahun, menjadi sebuah katamakan pribadi manakala, tidak bisa mengistimewakan yang 30 hari di bulan ramadan.Â
Sangat mungkin, ketamakan dan kerakusan membuat 365 hari seolah-olah tidak cukup dan merasa sayang bila ada 1 hari saja yang terlewati, apalagi 30 hari. Tiada lain, seolah waktu adalah uang. Menganggap fokus pada 30 hari di ramadan sebagai kesia-siaan dan merugi, menjadi sebuah dogma yang sesat dan keliru. Kembali pada fitroh dan hakikat manusia. Bukankah sejatinya manusia hadir di dunia ini dengan satu tugas untuk beribadah pada Alloh? Manusia bukan dihadirkan di dunia ini untuk menumpuk harta dan membawanya sebagai bekal pascakehidupannya berakhir?
Dalam kemerduan bacaan Sang Iman solat Tarwih di Masjid Tangkuban Perahu, hati ini bagai luruh dalam siraman rohani yang mendalam. Menyeruak rasa iklas dan syukur atas karunia dan nikmat-Nya yang tiada terhitung. Setiap helaan nafas ini, adalah nikmat tadi yang tidak mungkin tergantikan secara materi. Inilah kata hati yang paling dalam dan ingi ditumah ruahkan dalam diri yang berderet dalam saf solat tarawih.
Lantunan doa dari Imam di akhir solat witir, sangat menggetar hati. Doa, terpanjatkan dalam kesenyapan hati yang penuh harap curahan kasih sayang Sang Illahi. Tiada kata-kata yang terucap kecuali lantunan lafal " aamiin", menguatkan doa Sang Iman agar dikabulkan. Ada keberkahan dan kesejukan.
Tetesan air mineral dalam gelas plastik yang dibagikan takmir, bak menyirami rohani, untuk melanjutkan hari keempat belas dalam puasa di Ramadan penuh barokah ini.
Masjid Jami Tangkuban Perahu, mencatatkan ibroh di sanubari serta kerinduan untuk bersujud kembali di Masjidil Haram serta menziarahi Makam Rosululloh di Masjid Nabawi. Ya Robb, mudahkan terwujudnya keinginan Hamba-mu ini.
Selamat menunaikan ibadah puasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H