Pukul 23. 00, kereta yang saya tunggu tiba di Stasiun Pekalongan. Saya ada di antara penumpang yang sudah menunggu di Peron kedatangan kereta Tawang Jaya Premium. Dengan kereta yang pemberangkatannya dari Stasiun Tawang Semarang tersebut, penumpang berharap bisa membawa dengan selamat sampai di stasiun akhir Pasar Senen Jakarta.
Penumpang penuh di gerbong 5. Saat saya masuk, bersamaan ada beberapa penumpang lain yang juga mendapat porsi kursi di gerbong tersebut. Sebagian besar penumpang sudah tertidur. Tidak ada penumpang yang menyibukan diri bercerita dengan penumpang yang lainya. Sedikit kesibukan penumpang yang sempat saya lihat adalah membuka gadget dan ada yang mengaitkannya dengan alat bantu dengar. Penumpang di sebelah kursi porsi punya saya, sudah terpekur dalam mimpi. Namun, karena saya yang berada di posisi dekat jendela, saya membangunkannya dengan beberapa kali tepukam di pundaknya. " Maaf saya yang sebelah Jendela. " Begitu yang keluar dari mulut saya.
Tidak berapa kemudian, Tawang Jaya Premium yang membawa 9 gerbong berangkat perlahan. 8 Gerbong penumpang dan 1 gerbong restorasi atau kereta makan. Malam yang hening di sepanjang perjalanan, terpecahkan dengan bunyi khas kereta dan sesekali raungan "klakson" kereta. Saya sudah berusaha untuk menutup mata dengan penutup mata yang melekat pada jaket yang saya kenakan. Cahaya lampu dalam gerbong kereta sangat kurang nyaman untuk istirahat mata. Saya tidak tahu, mengapa ada gerbong kereta yang bisa mematikan sebagian lampu utama dan ada yang sama sekali tetap dibiarkan terang benderang. Bukankah untuk istirahat, nyala lampu yang tidak begitu terang sangat dibutuhkan? Mengapa hal ini dibiarkan oleh pihak KAI?
Kalau untuk alasan keamanan, tentu saya setuju perlu penerangan. Namun sebagian penumpang, adalah para pekerja yang esok hari tiba, hanya ada waktu beberapa menit untuk singgah, kemudian berangkat ke kantor dan beraktifitas, membutuhkan tenaga yang fit? Artinya, dengan pengaturan lampu pada setiap gerbong, dengan tidak begitu terang benderang, bisa membantu penumpan istirahat dengan "nyaman.". Saya perhatikan, hampir semua penumpang berusaha menggunakan alat bantu untuk menutup matanya saat berusaha untuk pulas selama perjalanan.
Setelah hampir empat jam perjalanan, terdengar suara crew kereta yang mengingatkan waktunya untuk makan sahur. Mereka menawarkan makan dan minum yang siap saji. Sepengedar pandangaan saya, penumpang, termasuk saya mengeluarkan bekal untuk makan sahur sendiri, tanpa membeli dari restoran kereta. Ada yang masih terkantuk-kantuk memaksanakan diri untuk membuka bekal sahur dan memakannya. Ada juga yang menunggu sesaat hingga badan terasa bugar, baru makan.
Akh, menikmati makan sahur dalam perjalanan. Sebuah kenangan tersendiri, namun sudah berulang untuk sekian kalinya. Saya mengingatnya, sudah 6 kali Ramadan terlewati. Artinya 6 tahun sudah saya menghadapi suasana seperti sekarang. Makan sahur bersama orang-orang yang tidak dikenal dan pribadi yang berbeda-beda karakter. Namun sepertinya hanya ada satu kesamaan yang menjadikan tangan saya ini menuangkannya dalam artikel ini. Apa itu?
Sebuah kesadaran akan pemenuhan pada tuntunan agama. Puasa sebagai kewajiban, telah merasuk dalam jiwa, hingga seolah terbawa kapan dan dimana saja. Makan sahur sebagai bagian dari proses puasa tersebut, tidak dilalui atas keyakinan, ada keberkahan di balik makan dan minum sewaktu sahur. Ini keyakinan dalam kontruksi ibadah yang kaffah, atau berusaha untuk meraih kesempurnaan.