Sehingg wajar, terhadap tersangka atau terdakwa yang sejak dari awal proses penyidikan berkata jujur, tidak bertele-tele, Hakim akan memberikan apresiasi berupa keringanan hukuman.
Ketiga, dari pengalaman empiris juga, seringkali tersangka atau terdakwa sengaja menyembunyikan fakta, selama alat bukti yang ada atau dimiliki penyidik belum lengkap.Â
Ia cenderung bermain kata dan menyembunyikan fakta tersebut dengan tujuan seolah-seolah ia terdholimi, terfitnah dan lain alasan, sehingga di mata orang-orang terdekatnya tetap dianggap sebagai "Mr.Clean".Â
Lebih-lebih dalam perkara korupsi dengan sangkaan penerimaan uang atau suap. Sangat mungkin terjadi, tersangka/terdakwa tetap mencitrakan diri tidak menerima uang, atau setidaknya di samping untuk kepentinganya sendiri, ia juga siap menjadi bumper untuk keterlibatan orang lain.
Pada titik inilah ketika penyidik menunjukan bukti-bukti terkait misalnya hasil recording (rekaman), voice hasil sadapan, percakapan lewat SMS atau Whatsapp, transaksi elektronik dari hasil jejak forensiknya dan sebagainya.Â
Bila sudah ditunjukan atau diperlihatkan serta diperdengarkan barulah apa yang ia sembunyikan, tidak bisa dibantah lagi. Benarlah adagium yang menyebutkan facta sunt bonum est lex legume (perbuatan atau fakta lebih kuat dari kata-kata).
Bila ini terjadi dalam proses penyidikan maka, akan menjadi mengembang perkaranya, waktu dan kemungkinan ditetapkan tersangka baru.Â
Terhadap tersangka yang demikian, karena adanya hak ingkar tadi, maka tidak berakibat ia ditetapkan sebagai tersangka dengan sangkaan pasal pemberian keterangan yang tidak benar.Â
Namun, bila ini dilakukan oleh seorang saksi, maka status tersangka dengan sangkaan pemberian keterangan palsu, sangat layak disematkan padanya.
Kemauan dari pembuat undang-undang tiada lain dan tiada bukan adalah bahwa saksi harus mengatakan yang sebenarnya korelasinya dengan asas peradilan yang cepat.Â
Semakin keterangan saksi apa adanya, tidak terjadi pengulangan dan penambah tersangka baru ketika perkara sedang berjalan.