Suasana yang ramai, menyenangkan dan menghibur untuk setiap akhir pekan tersebut, kini bagai tinggal kenangan. Seolah, bagai dalam posisi yang diambang tutup. Ketika saya datang mengunjungi pekan lalu, bahkan dari beberapa orang yang biasa menjaga parkir mengatakan " ditutup". Entah ditutup permanen atau karena hal lain.
Memang dari pengamatan, seperti sudah memperihatinkan. Banyak fasilitas yang dulu ada seperti "jembatan tali", lapak-lapak, tempat cuci tangan, tempat atau spot berfoto, sudah tidak terurus bahkan ada yang sudah ditiadakan keberadaannya. memprihatinkan dan kelu memandangnya.Â
Lebih-lebih, saya pernah melihat bagaimana saat lokasi tersebut menjadi idola di hari minggu bagi warga bersama keluarga untuk sekedar hiling.
Yang jelas, melalui artikel ini saya ingin mengabarkan bahwa nasib seperti Hutan Rajawali di Batang tersebut akan terjadi juga di kota-kota atau tempat-tempat lain di negeri ini.Â
Stakeholder pada awalnya begitu antusias dan getol membangun dan memfasilitasi tempat atau lokasi untuk sarana hiburan dan hiling warganya, namun pada perjalanannya, entah karena kejenuhan warga, bosan atau hal lain, terjadi titik kebekuan dan stagnan, sehingga tutup dan akhirnya menjadi bagian dari "sejarah" saja.Â
Tentu ini menyedihkan. Karena sebuah kota, tentu membutuhkan satu titik area sosial yang bisa dimanfaatkan warganya untuk menghibur diri tanpa harus mengeluarkan biaya yang besar.
Warga dimanapun butuh hiburan. Stakehorlder harus bisa mempertahankan setiap konsep yang memang ditujukan untuk warganya. Jangan sampai bisa membangun, tidak bisa memfasilitasi atau menjaga kelangsungan fasilitas tersebut. Yakinlah, pasti ada celah bagaimana mengembangkan potensi yang sudah ada, selama ada kemauan dari stakeholder, salah satunya bila memang diperlukan, menggandeng pihak swasta sebagai mitra.
Salam sehat untuk kita semua
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H