Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan pengembalian uang hasil tindak pidana korupsi sebesar Rp480 juta oleh presenter TV Brigita Purnawati Manohara tidak menghapus pidana.Â
Brigita diduga menerima uang tersebut dari Bupati Mamberamo Tengah Ricky Ham Pagawak selaku tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi. Ketentuan Pasal 4 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) menyatakan: Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 sebagaimana dikutip dari  app.cnnindonesia.com
Apa yang dialami oleh presenter yang tadi banyak terjadi  dalam beberapa perkara korupsi yang ditangani KPK. Banyak diantara mereka yang mengembalikan dengan itikad baik, ada pula yang "terpaksa" dan tetap merasa ia berhak atas uang haram tersebut.Â
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, bagaimana sebenarnya filosofi atas aturan normative sebagaimana ketentuan Pasal 4 UU Tipikor tadi? Seolah menjuntai pertanyaan, kan sudah mengembalikan, mengapa harus diancam pidana? Mengapa tidak menghapuskan pidananya?
Pertama, jika penerima uang/ aset  yang diduga hasil tindak pidana korupsi beralasan bahwa yang ia peroleh sebagai sebuah "bayaran" atas jasa prosesionalitasnya, perlu dirunut bagaimana aspek proporsional bayaran dengan jasa profesional.Â
Apakah sesuai dengan standar umum, atau hanya sebagai kamuflase semata? Pemberian berkedok kompensasi atas jasa? Ini yang sering tidak terurai dalam standar atau ukuran mengenai "jasa dan pemberian lain".Â
Pemberian lain dalam petik ini maksudnya adalah ada "transaksi" lain yang dinilai sebagai urusan privat, namun dibungkus dengan kata-kata jasa profesionalitas.
Kedua, jika penerima menganggap dirinya benar-benar tidak tahu, bahwa pemberian dan atau dengan bahasa lainnya yang bermakna sama, maka ukurannya adalah apakah uang tersebut "sekiranya" benar-benar dari si pemberi yang note benenya adalah penyelenggara negara? Ia memberi atas nama pribadi atau dinas? Bila pribadi, tidak curigakah dengan nilai uang yang diberikan dibanding dengan profil gaji atau penghasilannya yang sah?Â
Bila atas nama dinas karena "jasa profesional" tadi terkait kedinasan, sudah seharusnya melalui mekanisme pembayaran yang sah, misalnya ada kuitansi, tertera pajak dan sebagainya. Ini harus dipahami dan sudah sewajarnya, untuk kalangan tertentu, rasanya sangat mustahil tidak mengetahui "sinyal" seperti ini.
Ketiga, terkait dengan pengembalian kerugian Negara dan tidak menghapus pidananya, semata-mata untuk memberikan early warning adanya sikap hati-hati, curiga dan waspada terkait dengan pemberian oleh penyelenggara Negara. Ukurannya jelas, bila Pemberian tersebut legal, runutan sumber uangpun jelas dengan dokumen yang sah, sebagaimana disebutkan dalam point kedua tadi.Â