Bahkan , dalam konsep relegi Islami, “senioritas” juga diberlakukan pada seseorang yang “lebih mengusai” ilmu keagamaan, ilmu dalam baca Al Quran dsbnya. Sehingga meski usia lebih muda, karena kedalaman ilmu agama, ia layak untuk diberlakukan sebagai “senior” yang diidentikan sebagai “imam” dalam konsep Islam tersebut.
Jadi, wahai para atasan, jangan perlakukan bawahan Anda, hanya menjustifikasi bahwa senoritas di lihat dari satu aspek saja. Banyak tautannya. Namun hakikatnya, siapapun orangnya, lebih baik dan sangat menarik simpati adalah ketika kita bisa memperlakukan orang lain dengan penuh rasa hormat, apapun dia dan bagaimanapun statusnya. Tanpa harus membusungkan dada : Ini Aku Senior-mu.
Sebuah pengalaman empiris, ketika di suatu kesempatan dalam sebuah momen, hanya karena memandang "mereka" senior dari satu aspek, mengabaikan aspek lainnya. Yang terjadi adalah, ketidaknyamanan, nir-comfort dalam iklim kerja, karena terjadi sebagaimana kisah dalam prolog artikel ini. Seolah ia lupa, bahwa ia berada di negeri yang masih memandang etika, sopan santun dan tradisi tidak tertulis untuk memberi penghormatan pada orang lain. Tidak asal mengekspresikan panggilan pada orang lain hanya dengan menyebut nama dengan dalih ia adalah "yunior" alias bawahannya.
Tidak seperti itu bangunan dalam iklim kerja. Satu pihak merasa ketidak nyaman, akan berpengaruh pada bagaimana suasana dalam kerja secara keseluruhan. Yakinlah, itu menjadi sebuah sub sistem dari salah sistem efektif dalam lingkungan pekerjaan.
Salam, semangat di Hari Imlek.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H