Nasihat Lord Acton Untuk  Kepala Desa
Sebagai salah satu kegiatan dalam upaya pencegahan tindak pidana korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersinergi dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi membentuk percontohan Desa Antikorupsi pada Tahun Anggaran 2022 yang lalu.Â
Ada 10 Desa yang dipilih menjadi percontohan tersebut, sebagaimana dikutip dari kemendesa.go.id : Desa Kamang Hillia, Sumatera Barat, Desa Hanura, Lampung, Desa Cibiru Wetan, Jawa Barat, Desa Banyubiru, Jawa Tengah, Desa Sukojati, Jawa Timur, Desa Kutuh, Bali, Desa Kumbung, NTB, Desa Detusoko, NTB, Desa Mungguk, Kalimantan Barat dan Desa Pakattau, Sulawesi Selatan.
Adapun tujuan pembentukan percontohan desa antikorupsi, masih dikutip dari sumber yang sama, adalah untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi. Desa mempunyai peran penting, mengingat ada 74 ribu lebih desa di negeri ini. Bila desa bebas dari korupsi, menyebar hingga ke tingkat pemerintahan yang lebih tinggi. Setidaknya konstruksi yang ingin dibangun adalah seperti itu.
Sebagai napak tilas, berapa sudah kasus korupsi yang libatkan Kepala Desa. Ambil salah satu contoh, Kepala Desa tempat saudara saya tinggal di Desa Siberuk, Kecamatan Tulis Kabupaten Batang, Jawa Tengah, dijatuhi vonis 1,6 tahun dan membayar denda enam puluh juta, karena terbukti di persidangan melakukan korupsi keuangan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Sejahtera TA. 2017 dan 2018. Sudarso, nama eks Kepala Desa tersebut juga harus membayar biaya pengganti sekitar seratus dua puluh juta rupiah, dikutip dari ayosemarang.com.
Contoh tersebut menjadi sebuah ironi. Apa hubungannya dengan usulan Jabatan Kepala Desa dari 6 tahun (yang berlaku sesuai UU Nomor 16 Tahun 2014 tentang Desa) menjadi 9 tahun? Saya membuat benang merahnya sebagai berikut :
Pertama, masalah lama tidaknya jabatan Kepala Desa menurut saya tergantungdari sudut mana tinjauan latar belakangnya. Saya masuk mazhab yang tidak mempersoalan masa jabatan ini, karena yang utama adalah bahwa menjadi Kepala Desa, sebagai sebuah amanah yang harus diemban dan jangan sekali-kali mengkhianati-nya. Salah satunya dengan melakukan korupsi. Desa sebagai basis masyarakat, harus kuat dari bebas dari mental-mental koruptor. Ia bisa memendarkan aura korupsi ke seantero nusantara dengan cepat bila tidak terkendalikan. Banyak distribusi bantuan dari pemerintah, yang harus sampai ke pihak yang menerima, tanpa kurang dan dikurangi.
Kedua, hasil pengamatan saya yang sering tinggal di desa, banyak saudara-saudara juga yang berkeinginan menjadi Kepala Desa, dengan salah satu motivasi "untuk dihargai", bila dalam bahasa Abraham Maslow, menjadi salah satu kebutuhan yang ingin dipenuhi oleh individu, sebagai kebutuhan dasar manusia, salah satunya adalah kebutuhan akan aktualisasi diri. Sebuah kebutuhan yang manusiwai ketika "harta dan wanita" sudah dimiliki, maka tahta adalah tujuan berikutnya. Ini dalam konteks budaya harta, tahta dan wanita.Â
Artinya, Jabatan Kepala Desa banyak yang ingin mendudukinya, hanya karena ingin "menonjolkan diri" siapa ia, di desa ia-lah yang terpandang dsbnya. Untuk meraih ini semua, sering kali harus mengeluarkan "biaya tinggi" sebagai sebuah "mahar" yang bukan rahasia lagi. Menjadi Kepala Desa identik dengan "punya modal". Kondisi empiris-sosiologis ini, tanpa sadar atau tidak disadari menjadi motivasi perlunya masa jabatan Kepala Desa yang lama. Kalau perlu seumur hidup, sebagai sebuah bentuk aktualisasi diri tadi.
Ketiga, bagi Kepala Desa yang memang karena dikendaki oleh masyarakatnya, ia akan maju tanpa mengeluarkan "cost" yang tinggi, bahkan pada Kepala Desa tertentu benar-benar nir-cost atau tanpa biaya sama sekali. Masyarakatlah yang menghendaki. Sepanjang ia komit pada pengabdian, sepanjang waktu masyarakat tidak mempersoalkannya. Namun, bila di tengah jalan kontraproduktif dari harapan, bisa-bisa "people-power" digelorakan dan menyegerakan Sang Kepala Desa turun tahta.Â
Jadi, masalah waktu 6 atau 9 tahun, bukan sebagai sesuatu yang urgen dari sisi masyarakat. Yang nampak di sini adalah kepentingan pribadi-pribadi Sang Kepala Desa tersebut. Namun harus diingatkan pula, semakin lama jabatan, semakin terbuka peluang dan kesempatan untuk melakukan penyalahgunaan wewenang. Karena ia semakin mengerti jaring-jaring dan anasir kelemahan terkait pengelolaan anggaran.
Lord Acton (1833-1902) sudah mengingatkan : Â Power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely.
Salam Anti Korupsi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H