Taufan, sebagai pegawai di sebuah lingkungan pekerjaan, dikenal teman-temannya sebagai pekerja yang tidak neko-neko, alias lurus-lurus saja. Bekerja apa adanya. Tidak suka masuk grup pegawai yang suka ngerumpi, suka curi-curi waktu absen, ibadah dilaksanakan secara konsekuen sesuai agamanya.  Untuk meraih karir, ia tunjukan dengan bekerja yang baik. Tanpa harus lobi ke bapak ini dan bapak itu.
Dalam lingkungan pekerjaan apapun, ada saja permasalahan dengan pegawai yang mempunyai sikap yang lurus-lurus saja, sebagaimana ilustrasi diri Taufan.Â
Maksudnya, sebagai pegawai, ia hidup normative, sesuai dengan aturan. Ia tidak mau menyimpang dari aturan yang ada. Ibaratnya, benar-benar ia tidak mau ikut-ikut pegawai lain yang suka "ngaret" alias tidak disiplin waktu, suka santai bila tidak diawasi bos, atau nekad main "petak umpet" dengan masalah keuangan kantor. Yang terakhir ini, sangat riskan dan hanya pegawai yang mempunyai akses keuangan yang bisa bermain di sini.
Artikel ini mengulik pegawai yang lurus-lurus saja. Ia sangat bersyukur atas capaian dirinya. Tidak terlalu ambisi ataupun dengan segala cara bisa meraih kedudukan. Sikap mensyukuri atas yang ia capai, ia tunjukan dengan Kinerja yang baik. Ada semangat dalam dadanya dalam melaksanakan aktifitas rutin di kantornya, yaitu " tunjukan yang terbaik, maka karir terbaikmu akan menghampirimu. " Keyakinan ini ia bangun, ia semai untuk terus tumbuh dan kembang. Sehingga ia tidak mudah goyah untuk melakukan sesuatu yang sekiranya nir-manfaat.
Seringnya, pegawai yang "idealism-nya" tinggi seperti ini, punya kolega yang tidak banyak. Koleganyapun biasanya yang sealiran dengan dirinya. Biasanya pula ia akan mendapat stigma orang yang kaku, keras kepala dan cap minor lainnya. Namun, sikap ini sebenarnya bisa dieliminir dengan bebarapa cara, berdasarkan pengamatan maupun fakta empiris sebagai berikut :
Pertama, menyadari bahwa hakikatnya hidup tidak bisa sendiri, manusiwa itu makhluk sosial, sebagaimana dikatakan Aristoteles, zoon politicon. Artinya harus bisa menempatkan diri sebagai bagian dari komunitas, jangan merasa hidup ini untuk diri sendiri. Buntutnya, akan muncl stigma negative tadi. Tujuan baik dengan cara yang kurang baik, tentulah hasilnya negative.
Kedua, memilih jalan yang lurus-lurus, bukan berarti masuk dalam "golongan langka", namun justru dengan pilihan yang lurus-lurus tersebut, diniatkan untuk lebih "mensyiarkan", sosialisasi, atau membumikan perilaku lurus dalam kerja, sebagai bagian dari kontribusi positif di lingkungan kerja. Tetap membaur, menebar senyum dan kumpul-kumpul. Ini akan mengembangkan aura positif, bahwa pekerja yang lurus-lurus saja ternyata menebar kebaikan dan melengkapi energi positif bagi lingkungan kerja.
Ketiga, pegawai yang lurus-lurus saja, tidak menunjukan alergi pada kegiatan yang "menurutnya" bertentangan dengan pilihan lurus-lurus saja tadi. Namun, tetap memberikan kontribusi sepanjang tidak terlalu masuk ke urgensi kegiatan yang ia nilai bertentangan dengan kaidah "lurusnya". Ini berimplikasi pada sikap salut dan simpati, bahwa pekerja yang berjiwa lurus memang tidak kaku, dalam batasan tertentu fleksibel, namun dalam frame yang tetap benar.
Jadi tetap ada cara untuk menjadi pegawai yang lurus lurus saja tanpa mendapat stigma negative dari kolega di lingkungan kerja. Menebar jalan kebaikan, dengan memosisikan diri sebagai pegawai yang tidak menjadi beban karena masalah yang ia hadapi bagi lingkungan pekerjaannya. Menjadi beban tersebut misalnya, perilaku negatif yang sampai memunculkan kejadian negatif dan berimbas pada nama baik lingkungan kerja. Misalnya masukan dalam perangkat narkoba, masalah rumah tangga yang berimbas pada tindak kekerasan pada keluarga atau tindak pidana lainnya.