Salah satu masalah yang selalu memunculkan perdebatan adalah ketika KPK akan melakukan pemanggilan terhadap seseorang, yang kebetulan orang tersebut berprofesi tertentu dan profesi ini mempunyai Undang-Undang "yang memproteksi" anggotanya ketika berhadapan dengan hukum. Misalnya disebutkan, harus seijin ini, seijin itu dstnya. Substansinya adalah, sebelum anggota diperiksa baik sebagai saksi atau sebagai tersangka oleh KPK, maka harus "ijin" dulu pada induk organisasinya.
Dalam beberapa kasus tindak pidana korupsi yang ditangani KPK, ada dua karakter pribadi yang menyikapi hal tersebut. Pertama, yang bersikeras tidak mau berurusan dengan KPK sebelum melalui "ijin" lembaga-nya dan kedua, walaupun mengetahui ada regulasi untuk adanya "ijin" dari organsasi sebelum memenuhi panggilan pemeriksaan oleh aparat penegak hukum, tetap memilih opsi memenuhi panggilan tersebut. Ia berkarakter memberikan penghargaan pada asas equality before the law.
Pada saat  perdebatan memunculkan hal tersebut, maka yang tidak ketinggalan dibahas adalah adanya asas equality before the law (persamaan dimuka hukum), sebagaimana juga diatur dalam Pasal 27 UUD 1945 "segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya." Ketentuan yuridis ini seolah menjadi "senjata" bagi penyadaran penting dan eksistensinya asas tersebut.
Kondisi yang saling kontraproduktif tersebut, bagi KPK tentu sangat menghambat. Minimal dengan proteksi tersebut birokrasi menjadi panjang dan hal ini sangat tidak efektif dalam pemberantasan korupsi.Â
Padahal merujuk pada pasal 3 UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK : " Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga Negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun."
Artinya, dengan "kekhususan" yang dimiliki KPK tersebut, pembuat Undang-Undang memberikan Amanah, bahwa KPK ketika harus melakukan upaya paksa dan pemanggilan atau permintaan keterangan kepada siapapun, apapun profesinya, tanpa ada lagi penghalang harus melalui ijin atau birokrasi.Â
Kekhususan ini sebagai ciri dari lembaga khusus yang diberi kewenangan dalam pemberantasan korupsi dalam menghadapi tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana extra ordinary crime. Harus dihadapi dengan cara-cara khusus dan tidak dengan cara-cara yang biasa. Inilah, yang seharusnya dimaknai dan menjadi pemahaman bersama.
Adalah menjadi fakta empiris, ketika perdebatan tadi bukan sekedar perdebatan akademis, maka akan berdampak pada kurang harmonisnya sinergitas antar lembaga, walaupun batasan sinergitas ini berada dalam koridor masing-masing kewenangan, tidak saling intervensi dan on the track pada regulasi yang ada. Permasalahan perbedaan penafsiran bisa ditemukan titik temunya ketika ada bridging semangat bersama untuk penegakan hukum yang berkeadilan.Â
Bagaimana bridging tersebut? Yaitu sikap mental masing-masing individu bila berhadapan dengan hukum, tidak bersembunyi di balik Undang-Undang atau memproteksi diri dengan Undang-Undang, namun mengedepankan kepentingan yang lebih besar dengan menjawab pertanyaan dari hati nurani, kalau tidak salah, apa susahnya memberikan keterangan kepada penyidik? Bukankah justru akan menunjukan penghormatan kepada hukum dan bisa menjadi sarana untuk mendeclair diri bahwa memang tidak bersalah?
Sikap yang  kadang susah dan sulit untuk dipraktikan.