Sang Mama tersekat. Kata-kata Si Anak " di tempat itu" yang terdengar sederhana, sejatinya memuat beban psikologis malu Si Anak. Ia yang masih SD-pun bisa jadi tidak tega menyebut kata " di tempat itu" dengan ucapan " di tahanan KPK. "
      Meski ini imajiner saya, sangat mungkin itu terjadi dan siapapun sangat memahami kedalaman arti kata " di tahanan KPK". Bila ini diucapkan, yang segera tergambar adalah sosok berada di belakang jeruji besi, tidak bebas beraktifitas dan dijaga oleh petugas. Di dalam ruang tahanan tersebut, terbayang juga tempat tidur yang tidak senyaman di rumah. Makanan dengan menu yang tidak senikmat hidangan di tengah keluarga atau restoran. Bau kamar tidur yang "seirama " dengan bau toilet, karena faktanya memang ruang tempat tidur satu ruangan dengan toilet plus kamar mandi.
      Sungguh tidak nyaman bayangan di ruang tahanan, sampai-sampai Si Anak-pun tidak tega menyebutkan itu pada Sang Mama-nya.
      Beberapa gangguan psikologis yang biasanya menghinggapi para narapidana yaitu, kecemasan, depresi bahkan usaha untuk bunuh diri pun dapat dilakukan oleh para narapidana. Gangguan psikologis tersebut salah satunya di sebabkan karna mereka tidak bisa menerima masalah yang sedang mereka hadapi, mereka tidak bisa menyesuaikan diri dengan keadaan sekarang, yang awalnya mereka bebas melakukan berbagai aktivitas di luar sana, bebas untuk bertemu dengan siapa pun, sekarang mereka di kurung, mereka tidak memiliki kebebasan lagi.
      Dalam Pasal 1 angka ke 21 KUHAP menyebutkan bahwa penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
      Dengan kontruksi hukum yang demikian, maka substansi penahanan merupakan penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu. Frasa kata " di tempat tertentu" tentunya mengingkari dari filosofi penahanan itu sendiri. Logika umum, seseorang ditahan, tentu dengan semua keterbatasan dengan harapan ia akan menjadi sadar diri, lebih instrospeksi dan dengan keterbatasan akan memunculkan semangat baru untuk melakukan perubahan sikap mentalnya. Sehingga, tempat yang sesuai dengan nilai ini, adalah dalam bentuk standar. Fasilitas seperti air pendingin (AC), pewangi ruangan, ataupun tersedianya saranan hiburan seperti TV, karaoke dan sejenisnya menjadi sesuatu yang kontras. Termasuk dalam kontruksi ini tentunya berimbas pula dalam hal makan dan minum yang semua berstandar minimum.
      Fakta bahwa wajah-wajah menunduk yang terpancar di ruang tunggu rutan KPK, menunjukan kecemasan, depresi juga sangat dimungkinkan terjadi pada mereka. Tidak hanya pada koruptor yang ada di balik jeruji. Saya, yang bukan ahli membaca ekspresi wajah seseorang, bisa menyimpulkan mana wajah seseorang yang bebas dari kecemasan, kegundahan atau keresahan. Atas dasar ini, maka saya bisa menyimpulkan wajah-wajah para pembezuk masuk dalam kelompok ini. Lebih-lebih, bila mereka keluar dari ruang bezuk, setelah bertemu dengan "mereka" yang dibezuk, adanya adalah wajah-wajah sedih dan menanggung beban batin.
      Keluar dari rutan KPK, adalah langkah-langkah yang tidak bersemangat.
      Bahkan sering terlihat wajah-wajah yang keluar dari rutan koruptor, diselimuti mendung, ada sembab-sembab merah akibat menangis yang tertahan atau tangisan yang tumpah. Sebuah beban psikologis akibat perbuatan korupsi! Keluarga, entah itu istri atau suami, adik, kakak, anak....ikut menanggungnya.
      Terpikirkah ini wahai para koruptor?
Salam Anti Korupsi, Akhir Tahun 2022