Mohon tunggu...
Dr. Herie Purwanto
Dr. Herie Purwanto Mohon Tunggu... Penegak Hukum - PNYD di KPK (2016 sd. Sekarang)

Bismillah, Menulis Seputar Hukum dan Korupsi

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Urgensi OTT-KPK

22 Desember 2022   11:41 Diperbarui: 22 Desember 2022   12:54 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Urgensi OTT-KPK

Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK menjadi salah satu topik pembahasan yang menarik, sejalan dengan pernyataan Menko  Marinves Luhut Binsar Panjaitan. Tanggapan sebagai bentuk respon atas pernyataan tersebut bermunculan, ada pro dan ada yang kontra, ada juga yang moderat. Artikel ini pada posisi yang mana, pembaca sekalian yang menilainya. Namun, tentu sudut pandang yang digunakan dalam artikel ini adalah dalam prespektif sebagai penyidik KPK.

Berangkat dari prespektif ini, maka pertanyaan yang diajukan adalah bagaimana urgensi sebuah OTT-KPK? Ada beberapa hal yang menjadi jawaban pertanyaan tersebut.

Pertama, OTT-KPK sejatinya bukan keadaan yang tiba-tiba, sebagaimana terbayang dan menjadi image publik. Seolah prosesnya simpel dan instant. Begitu ingin menangkap pejabat tertentu, tinggal disadap nomor telpon, nunggu ada komunikasi pihak-pihak yang terlibat, tunggu deal transaksi, dan hup lalu ditangkap. Tidak seperti ini pola-nya. Terlalu menisbikan proses regulasi, analisa sampai pada sebuah kesimpulan adanya mens rea, sampai meeting of mind para pihak sehingga sudah masuk dalam ranah pasal yang akan disangkakan. Ini akan membutuhkan waktu, ketajaman dalam penyusunan kontruksi perbuatan. Ini dilakukan untuk menghindari adanya kesalahan dalam bertindak.

Pengalaman melakukan OTT seorang Kepala Daerah di Jawa Tengah beberapa tahun yang lalu, dari tahap analisa perkara, mencari arah meeting of mind para pihak sampai dengan keputusan OTT dilaksanakan, berjalan hampir 6 bulan lebih. Jadi, bila ada yang menganalogkan OTT ibarat masuk ke kebun dan tinggal memetik buah atau sayuran apa yang kita inginkan, menjadi kontraproduktif dengan fakta tadi. Ada sebuah proses yang tidak tiba-tiba.

Kedua, OTT-KPK menjadi salah satu strategi dalam penindakan, untuk memberikan efek jera dengan membawa pesan, bahwa KPK bisa sewaktu-waktu menangkap koruptor. Kedatangannya tanpa permisi dan pulang tanpa pamit. Dengan tidak terpola-nya waktu, tempat ataupun jabatan yang menjadi obyek OTT, dipesan-kan bahwa siapa saja yang main-main dengan korupsi, bisa tertangkap oleh KPK. Ini sebagai konsekuensi dari keterbatasan yang ada pada KPK, namun di hadapkan pada "gurita-korupsi" yang terjadi. Sehingga dengan penerapan "ala-random" sampling, harapan gema-nya ke seluruh penjuru negeri. 

Ketiga, OTT-KPK menjadi salah satu ujud respon balik atas peran serta masyarakat dalam memberikan informasi dan data terkait korupsi yang ada di lingkungan kerja ataupun di daerah. Ini merupakan amanat UU KPK, yaitu pelibatan partisipasi masyarakat dalam pemberantasan korupsi. Dikenal juga kemudian istilah whistleblowing system. Dalam konteks regulasi Indonesia, sistem ini dibakukan dalam Permendagri Nomo 109 Tahun 2017, di mana disebutkan Whistleblowing system adalah sistem pelaporan pelanggaran untuk memudahkan siapapun yang memiliki informasi  dan ingin melaporkan suatu perbuatan berindikasi pelanggaran yang terjadi di lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan Badan Nasional Pengelola Perbatasan.

Pada perkembangannya sistem pemberian informasi tersebut efektif. Banyak informasi dan data penting terkait "korupsi" yang dilakukan di lingkungan kerja berasal dari "internal" mereka sendiri. Bisa jadi, karena sakit hati, demosi, atau memang adanya keserakahan, kesewenang-wenangan. Dengan kemudahan pelaporan dan kerahasiaan pemberi informasi, sistem ini semakin efektif dan tentunya sebagai bentuk reward atas jerih payah dalam keaktifan tadi, setelah melalui proses regulasi dan analisa serta hasil penyadapan, OTT-baru bisa dilaksanakan.

Begitulah OTT, ada proses yang dijalani, bukan sebagai sesuatu yang tiba-tiba, seolah bisa dilaksanakan tanpa harus keluar keringat untuk melaksanakannya.  Prinsip kehati-hatian, dengan selalu menjunjung asas presumption of innocence dan penghargaan atas hak asasi manusia, maka tidak bisa sembarang melakukan OTT.

Salam Anti Korupsi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun