Mohon tunggu...
Dr. Herie Purwanto
Dr. Herie Purwanto Mohon Tunggu... Penegak Hukum - PNYD di KPK (2016 sd. Sekarang)

Bismillah, Menulis Seputar Hukum dan Korupsi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ibuku Sayang, Semoga Surga Hadiahmu

22 Desember 2022   07:03 Diperbarui: 22 Desember 2022   07:11 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ibuku Sayang, Semoga Surga Hadiamu

Masih terbayang selalu bagaimana Ibu memeluk tubuh ini, ketika sakit Ibu bak seorang dokter spesialis yang luar biasa. Punggung telapak tangan di tempelkan pada dahi. " Panas tubuhmu. ". Segera, tindakan emergency dilakukan. Merebus air, mengompres, menyelimuti, kemudian memaksa mulut ini tetap terbuka untuk menerima suapan demi suapan nasi. Bila belum memasak, langkah langkah kaki Ibu segera mencari lauk di warung tetangga, lauk kesukaan anaknya yang Ibu "diagnosa" sakit tadi.

Pada lain waktu, ketika pulang sekolah, baju basah kuyub karena Si Anak nekad menerobos hujan, langsung dengan penuh kasih sayang, mengambilkan handuk, membuka baju dan berbisik pelan : " Kenapa tidak sabar menunggu hujan reda, Nak? " Tanpa ada nada tinggi dari kata-kata yang terucap. Setelah melepas baju, menyediakan ganti dan mendudukan Si Anak, tangannya kembali mengoleskan minyak kayu putih ke sekujur tubuh. " Biar hangat ya, baru setelah ini makan. Tadi sudah solat belum? Solat dulu ya? "

Apa yang dikatakan Ibu, Si Anak menurut. Dengan lahap Si Anak tersebut makan, setelah sebelumnya mengambil air wudlu dan solat. Semua aktifitas, Ibu selalu disampingnya. Sampai saat makan-pun mata Ibu tidak lepas dari Si Anak. Bila ada batuk kecil, Ibu langsung menyela: " Batuk, tadi minum es ya di Sekolah? "

Perjalanan waktu kemudian, mengantar Si Anak pada jenjang remaja. Usia lima belasan tahun. Berseragam putih abu-abu, bila berangkat sekolah. Bisa dipastikan, karena didikan Ibu, Si Anak akan pamit dan mencium tangan Ibu. Ibu berkata : " Jangan lupa berdoa, di sekolah turuti nasihat Guru dan hati-hati di jalan ya, Nak. " Ini seperti hafalan, terucap dengan ketulusan. Pernah suatu ketika, setelah beberapa langkah Si Anak meninggalkan teras rumah, menoleh ke belakang, masih ada Ibu. Kedua tangan Si Ibu menengadah, Ibu tengah berdoa. Padahal saat itu, Ibu tengah sakit. Ibu sempatkan selalu, mengantar anak lewat pandangan mata, dan memanjatkan doa. Pernah Si Anak bertanya : " Apa yang selalu Ibu doakan untuk Aku? "

Ibu berkata dengan kelembutan : :" Doa Ibu agar Kamu selalu di Jaga Alloh, diberi kesehatan dan menjadi sukses dunia akhirat. "

Si Anak meyakini, bahwa doa Ibu pasti akan menembus langit dan dikabulkan. Dengan semangat ini, Si Anak pun, sebagaimana diajarkan Guru di Sekolah maupun Guru Mengaji-nya, untuk selalu mendoakan kedua orang tua. Inipun dilakukan oleh Si Anak, hampir setiap saat setelah menjalankan kewajiban lima waktu.

Sakit Ibu, kian hari kian parah. Diopname, balik lagi ke rumah. Beberapa hari kemudian, masuk lagi ke rumah sakit. Ada pilu dan nanar di mata, ketika melihat Ibu terbaring di rumah sakit. Hari-hari di rumah, seperti tidak ada "kehidupan". Tidak ada yang menyediakan makan, tidak ada yang berkata penuh kelembutan atas sebuah kesalahan, atau tangan yang menengadah, di sertai luncuran doa. Beberapa waktu, keadaan seperti itu berlangsung. Menjadi sebuah kesedihan, manakala tubuh Ibu terbaring lemah di rumah sakit. 

Tangan Ibu yang lemah, mengelus pundak Si Anak. tatapan matanya penuh dengan kasih sayang. Ada air mata yang tertahan, Ibu simpan dalam kalbu. Tanpa berucap. Pada saat seperti itu, teringat sebuah pesan Ibu : " Doakan selalu Ibu, Ayah dan Saudara-saudaramu. "

Beberapa hari setelah itu, setelah elusan lembut tangan Ibu pada Si Anak, Ibu tidak lagi mengucap kata. Karena Ibu pergi dengan senyum lembut di bibirnya. Si Anak mengirinya dengan ketulusan doa : : " Selamat jalan Ibu...."

Tangan Si Anak  bergetar, menutup tulisan ini, dengan setetes air mata. Ibu tidak lagi melihat, bahwa Anak-nya dengan penuh rasa syukur merasa bahwa tidak ada doa Ibu yang tidak terkabulkan. Ia bisa seperti sekarang, karena doa tulus iklas Ibu. Terima kasih Ibu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun