Konten dan Fitnah (Salah Satu Pasal dalam KUHP Baru)
Mengekspresikan sesuatu lewat tulisan, atau lisan dalam sebuah konten media, merupakan hak bagi setiap warga Negara.Â
Menjadi sebuah kegusaran publik ketika RKUHP yang baru disahkan DPR-RI tanggal 6 Desember lalu, adanya pasal  yang mengatur tindak pidana penyerangan nama baik dengan cara menuduhkan suatu hal dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum melalui lisan, tulisan atau gambar, bisa diancam pidana 4 tahun penjara.Â
Sebuah ancaman bagi kebebasan berpendapatkah? Sebuah langkah mundur bagi demokrasikah? Dan deretan pertanyaan lain muncul.Â
Padahal faktanya secara khusus, dalam konteks yang beririsan, Â UU ITE pada Pasal 28 ayat (2) sudah memberikan limitasi kebebasan tersebut agar tidak semua orang bebas dalam menyebarkan informasi yang bisa menimbulkan kebencian atau permusuhan individu dan atau/ kelompok masyarakat berdasarkan suku, agama, ras dan antargolongan (SARA).
Wajar pertanyaan itu berderet. Sebuah konten yang akhirnya muncul di media, tentu berpotensi untuk dikonsumsi oleh publik. Bila konten tersebut sebagai sebuah fakta, tentulah tidak menjadi masalah.Â
Namun, bila ternyata memuat unsur yang tidak benar, misalnya menyangkut ke pribadi seseorang, tentu arahnya menjadi fitnah.Â
Apakah sebagai sebuah fitnah, demi alasan kebebasan tadi harus dibiarkan? Tentu, tidak. Bebas bukan sebebas-bebasnya, namun bebas dalam koridor tidak melanggar hak orang lain.
Kompasiana sendiri, selalu memberikan warning pada kompasianer dalam menulis konten untuk tidak sebebas-bebasnya, ada batasan yang harus diikuti. Ini bisa dimaknai sebagai sebuah ketentuan untuk tertib dan patuh pada aturan, norma atau nilai dalam hidup berbangsa dan Negara. Bisa dibayangkan bila misalnya konten yang ditulis di kompasiana sebebas-bebasnya, apa yang terjadi?
Dalam konstruksi pemahaman seperti itu, maka membahas tentang kebebasan, tentu ada batasnya. Kebebasan yang sebebas-bebasnya justru menjadi kontraproduktif atas mana kebebasan itu sendiri. Disinilah maka eksistensi hukum diperlukan, karena dengan hukum ada sifat mengatur dan memaksanya (dwingend recht en aanvullend recht).
Dengan adanya sifat hukum seperti itu maka perilaku masyarakat menjadi teratur dan bagi yang melanggar akan mendapat sanksi, sebagai konsekuensi-nya.Â