"Apakah benar-benar "ada substansi-santet" atau hanya "substansi-penipuan" dengan kedok santet?"
Salah satu Pasal dalam KUHP yang baru disahkan DPR-RI, adalah tentang santet. Fenomena yang sering terjadi di tengah masyarakat, ketika ada sekelompok orang yang menghakimi "dukun" yang diduga pelaku santet yang telah menyebabkan kematian seseorang.Â
Ini bukan kejadian fiktif. Ketika terjadi aksi main hakim sendiri pada orang yang diduga "dukun santet". Proses hukum terkait kejadian seperti ini menjadikan pelaku main hakim dengan pasal penganiayaan yang menyebabkan mati seseorang.Â
Tapi sebelum terjadinya main hakim tersebut, hukum belum bisa menyentuh "orang yang diduga dukun santet. " tersebut.Â
Bilapun ada pembuktian, korban yang sudah mengeluarkan sejumlah uang namun tidak bisa dibuktikan perkataannya sehingga penyidik mengenakan pasal penipuan.
Melihat fakta tersebut, pembuat Undang-Undang yang ikut merumuskan lahirnya KUHP, bisa menyerap apa yang menjadi "dinamika" dalam masyarakat tadi.Â
Maka, dalam rumusan KUHP, santet masuk dalam salah satu usulan sebagai perbuatan yang kepada pelakunya bisa dimintakan pertanggungjawaban pidananya. Bagimana logika pembuktiannya? Inilah yang menarik.
Apakah Tim penyusun, sudah benar-benar "membuktikan" santet, dengan salah satu caranya  menghadirkan "ahli santet" yang mendemonstrasikan bagaimana "materil" yang biasa menjadi alat untuk santet bisa "dipindahkan" dari satu tempat ke tempat lainnya, tanpa media secara fisik.Â
Upaya "transfer" material santet pada sasarannya, benar-benar bisa dibuktikan adanya. Sehingga, adanya pembuktian ini, bisa menjadi penguat bahwa santet memang ada dan "bisa" dikirim ke seseorang.
Pertanyaannya adalah, apakah nanti apabila pasal ini benar-benar diterapkan dan ada seseorang yang diduga sebagai "dukun santet" atau kematian seseorang karena santet, bisa mengarah bahwa orang yang diduga tersebut-lah pelaku santet-nya?Â
Akankah penyidik mendatangkan "ahli santet" sebagai "Ahli" sebagaimana disebutkan dalam pasal 184 KUHAP, yang bisa menjadi salah satu alat bukti yang sah?
Terlepas dari polemik tersebut, nyata nya santet sudah masuk dalam salah satu pasal KUHP, yaitu diatur dalam Pasal 252: "Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan atau memberikan bantuan ... ", sebagaimana dikutip dari Kompas.com.Â
Dalam ayat (2) menambahkan hukuman pemberat 1/3-nya bila perbuatan tersebut sebagai mata pencaharian atau kebiasaanya.
Ada sisi perdebatan, apakah "substansi santet: sebagaimana terbayangkan oleh publik selama ini, yaitu "terbangnya atau berpindahnya materil mematikan" dari ahli santet ke sasaran yang dituju dengan imbalan materi.
Atau, hanya "semacam penipuan" atas kemampuan "menghilangkan jiwa orang lain" secara mistis? Bila ini yang propaganda, apa masuk dalam ranah delik penipuan.
Sebagai penyidik, sudah terbayang bagaimana nanti, tiga tahun lagi setelah berlakunya KUHP, bila menemukan kejadian "pelaporan" adanya santet tersebut.Â
Untuk antisipasinya tiada salahnya, ada semacam pelatihan terkait hal ihwal tentang santet, sehingga ketika saatnya ada pelaporan, penyidik tidak terdadak dan minimal sudah menyiapkan langkah-langkah penangannya secara profesional.Â
Apakah benar-benar "ada substansi-santet" atau hanya "substansi-penipuan" dengan kedok santet?
Secara anekdot, akankah penyidik  dihadapkan pada fakta antara alam mistis dan alam rasional? Sebuah tantangan baru, sebagai resiko atas dinamika dalam masyarakat.Â
Hukum memang tidak statis. Ia harus bisa menjawab tantangan jaman dan berada dalam posisi sebagai katalis atau penetral permasalahan.Â
Jangan sampai ada masalah, namun tidak ada payung hukum untuk menanganinya, padahal negara ini sudah mendeclair diri sebagai Negara Hukum.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI