Terlepas dari polemik tersebut, nyata nya santet sudah masuk dalam salah satu pasal KUHP, yaitu diatur dalam Pasal 252: "Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan atau memberikan bantuan ... ", sebagaimana dikutip dari Kompas.com.Â
Dalam ayat (2) menambahkan hukuman pemberat 1/3-nya bila perbuatan tersebut sebagai mata pencaharian atau kebiasaanya.
Ada sisi perdebatan, apakah "substansi santet: sebagaimana terbayangkan oleh publik selama ini, yaitu "terbangnya atau berpindahnya materil mematikan" dari ahli santet ke sasaran yang dituju dengan imbalan materi.
Atau, hanya "semacam penipuan" atas kemampuan "menghilangkan jiwa orang lain" secara mistis? Bila ini yang propaganda, apa masuk dalam ranah delik penipuan.
Sebagai penyidik, sudah terbayang bagaimana nanti, tiga tahun lagi setelah berlakunya KUHP, bila menemukan kejadian "pelaporan" adanya santet tersebut.Â
Untuk antisipasinya tiada salahnya, ada semacam pelatihan terkait hal ihwal tentang santet, sehingga ketika saatnya ada pelaporan, penyidik tidak terdadak dan minimal sudah menyiapkan langkah-langkah penangannya secara profesional.Â
Apakah benar-benar "ada substansi-santet" atau hanya "substansi-penipuan" dengan kedok santet?
Secara anekdot, akankah penyidik  dihadapkan pada fakta antara alam mistis dan alam rasional? Sebuah tantangan baru, sebagai resiko atas dinamika dalam masyarakat.Â
Hukum memang tidak statis. Ia harus bisa menjawab tantangan jaman dan berada dalam posisi sebagai katalis atau penetral permasalahan.Â
Jangan sampai ada masalah, namun tidak ada payung hukum untuk menanganinya, padahal negara ini sudah mendeclair diri sebagai Negara Hukum.