Mohon tunggu...
Dr. Herie Purwanto
Dr. Herie Purwanto Mohon Tunggu... Penegak Hukum - PNYD di KPK (2016 sd. Sekarang)

Bismillah, Menulis Seputar Hukum dan Korupsi

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Menyoal Pasal Penghinaan Presiden/Wakil Presiden (Pasal dalam KUHP-Baru)

13 Desember 2022   09:05 Diperbarui: 26 Desember 2022   16:49 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menyoal Pasal Penghinaan Presiden/Wakil Presiden 

Artikel ini merupakan keberlanjutan dari artikel kemaren Menoreh Sejarah Pembaharuan Hukum Pidana. Dalam artikel tersebut setidaknya ada beberapa pasal yang disebut-sebut bakal rentan dengan kriminalisasi dan "kurang ramah" bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Pasal-pasal tersebut sebagai berikut : 1. Penghinaan Terhadap Presiden, 2. Pasal tentang Makar, 3. Penghinaan Lembaga Negara, 4. Demo Tanpa Pemberitahuan, 5. Berita Bohong, 6. Pengurangan hukuman Koruptor 7. Pidana bagi pelaku kumpul kebo, 8. Penyebaran ajaran komunis, 9. Pidana terkait santet dan Vandalisme serta masalah hukuman mati, HAM dan Living Law.

Kali ini, artikel  lebih fokus pada pasal mengenai penghinaan Presiden/Wakil Presiden. Sebagaimana  Dikutip dari htpps://peraturan.go.id/site/ruu-kuhp.html, Pasal 218 menyebutkan : " Setiap orang yang dimuka umum menyerang kehormatan dan atau harkat dan martabat diri presiden dana tau/ wakil presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV."

 Pertanyaannya : Mengapa pasal tersebut diributkan dengan alasan akan dengan mudah siapa saja yang "menghina" Presiden dan Wakil Presiden dipidana? Bukankah ini sebuah kemunduran, sebuah bentuk "arogansi" kekuasaan dan sebagainya? Mari kita bahas.

Pertama, pendapat yang menyebutkan pasal tentang penghinaan Presiden/Wakil Presiden tersebut bertentangan atau tidak sejalan dengan asas equality before the law sebagai bentuk perlakuan yang sama bagi setiap orang dimuka hukum (Gelijkheid van ieder voor de wet). Bila menghina warga Negara biasa saja bisa dikenakan pidana, apalagi ini terhadap Presiden/ Wakil Presiden yang merupakan symbol dari Negara. Bisa dibayangkan, apabila tidak pasal ini, dengan dalih "kebebasan mengelurkan pendapat". Kebebasan bukan diartikan sebebas-bebasnya, namun "terukur" pada nilai-nilai dan norma. Ketika ini sudah dilanggar, maka sudah sewajarnya untuk memberikan efek jera, kepada pelakunya layak ditimpakan pertanggungjawaban pidana. Harus ada pembeda, ketika memberikan kritik, memberikan masukan dengan frasa kata atau kalimat yang "tidak menyinggung" kehormatan manusia. Inilah hakikat dari penghargaan manusia kepada manusia lainnya, apalagi terhadap Presiden dan Wakil Presiden.

Kedua, pendapat yang menghawatirkan akan memunculkan kriminalisasi terhadap kritik dan saran. Kekhawatiran ini, sudah ditepis dalam pasal berikutnya yaitu pada pasal 220, yang pada intinya menyebutkan delik pada pasal 218 hanya dapat dituntut berdasarkan delik aduan. Penegasan ini mengabarkan bahwa bila seseorang : " diduga" melakukan penghinaan pada Presiden/ Wakil, maka tanpa adanya pengaduan dari Presiden/ Wakil maka, perkara tidak bisa dilakukan penyidikan. Penyidik tidak bisa serta merta melakukan proses hukum, tanpa adanya pengaduan. Karena ini sebagai delik aduan, maka pada perjalanan perkara-nya pun seadainya terjadi, bisa dicabut oleh Pengadu.

Ketiga, pendapat yang menyebutkan bisa menyumbat kran demokrasi, karena orang menjadi takut untuk melakukan unjuk rasa atau demo. Ini juga perlu diluruskan bahwa pada bagian penjelasan disebutkan bahwa unjuk rasa, demonstrasi, sebagai bagian ekspresi kebebasan mengeluarkan pendapat, bukan sebagai delik pidana, atau bukan sebagai perbuatan tindak pidana.

Kebencian pada seseorang, semestinya untuk dikendalikan, karena ditinjau dari norma agama, norma susila dan budaya sangat bertentangan dan tidak mendapat tempat. Apalagi, kebencian yang akhirnya diekspresikan baik melalui lisan dan tulisan kepada Presiden dan atau Wakil Presiden yang sudah disepakati sebagai symbol Negara yang harus dihormati. 

Pasal dalam KUHP baru tentang penghinaan ini, bila dikembalikan pada hati nurani kita sebagai manusia, tentu tidak setuju dan menyepakati bahwa menghina orang lain, apapun statusnya, apalagi Presiden dan atau Wakil Presiden merupakan perbuatan tercela dan "merendahkan martabat" orang. Bila ini sudah menjadi kesadaran, tinggal bagaimana kita melihat penerapannya, apakah murni untuk penegakan hukum atau karena sebuah kepentingan?

Salam Pembaharuan, Salam Anti Korupsi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun