PIN dan Korupsi
Hari ini 9 Desember, merupakan Hari Anti Korupsi Dunia (Hakordia). Situas resmi KPK merilis tema Hakordia tahun ini adalah " Indonesia Pulih Bersatu Lawan Korupsi." Masih menurut situs tersebut, KPK ingin mengajak dan memperkuat peran serta masyarakat dalam memerangi korupsi. Memberantas  korupsi membutuhkan peran serta seluruh elemen masyarakat di negeri ini tanpa kecuali.
Hari ini 9 Desember juga, dilakukan penutupan Pendidikan dan Latihan Kepemimpinan Nasional Tingkat II Angkatan XXII Tahun 2022 di Jakarta Pusat. Dua buah momentum yang simetris dan sebangun. Klu dari dua momentum tersebut adalah Korupsi dan Pemimpin. Benang merahnya jelas, berbicara korupsi, identik dengan berbicara "kewenangan", meski cluster korupsi tidak harus masalah kewenangan atau adanya penyalahgunaan wewenang "abuse of power". Namun, pemahaman umum, orang melakukan korupsi karena ia mempunyai kewenangan.
Benang merah antara dua klu tadi, sebagai gambaran berdasarkan data KPK sebanyak 176 pejabat daerah terjerat korupsi pada periode 2004 sd. 2022 dengan rincian  22 Gubernur dan 154 walikota/bupati dan wakil yang berurusan dengan lembaga anti rasuah, KPK.
Dalam konteks Pimpinan di jalur birokrasi, tentunya identitas dengan "kalangan  berpendidikan" dengan gelar kesarjanaan dari berbagai disiplin keilmuan. KPK mencatat pula, hampir 86% koruptor merupakan lulusan universitas, artinya koruptor bukanlah orang-orang yang :tidak berpendidikan, justru mereka dari kalangan "terdidik".
Publik memahami, ketika masih dalam kampus, nilai-nilai idealisme terbangun. Antitesis terkait hal ini menjadi sebuah hal yang memiriskan. Tidak sedikit aktivis kampus, yang begitu idealis, berada pada garis terdepan untuk memerangi ketidak adilan, ketimpangan sosial atau isu-isu nasional dan internasional, termasuk di dalamnya isu korupsi, ketika ia sudah lepas dari kampus dan "masuk ke lingkaran birokrasi" terperangkap pada cluster korupsi, sebagaimana angka sekitar 86% tadi.
Demikian pula ketika Pimpinan, Pejabat Birokrasi yang "terdidik" dalam frame sebagai alumni Pendidikan dan Latihan Kepemimpinan Nasional, yang note bene-nya "dicetak" dan digembleng mental yang baik, tentunya harus tabu untuk melakukan hal yang kontraproduktif, berupa melakukan "abuse of power" tadi. Karena memang mereka-lah yang mempunyai potensi dan peluang besar untuk melakukan korupsi.
Banyak teori dan pendapat pakar terkait dengan bagaimana cara mengatasi korupsi, yang tercluster dalam pola pencegahan sampai pada penindakan (law enforcement). Cluster pencegahan misalnya dengan pendidikan anti korupsi sejak dini sampai masuk ke lembaga pendidikan, di masyarakat dan elemen bangsa lain, membangun system dalam birokrasi yang "menutup" celah untuk korupsi, sampai pada pendidikan moral, relegi yang massif.
Pada sisi sisi penegakan hukum, KPK bahkan bersemangat untuk "memiskinkan koruptor" bahkan menurut Prof Abdurrahman Mas'ud, kalau perlu sampai menjadikan koruptor tidak sekedar miskin namun menjadi "kere" (sebuah frasa kata dari bahasa Jawa, yang memosisikan lebih miskin dari miskin). Upaya memiskinkan koruptor dengan cara penyitaan harta koruptor yang tidak bisa dibuktikan asal perolehannya dengan melihat track-profilnya.
Tengarai mengapa korupsi terjadi, salah satunya menurut Jack Bologne dalam teori GONE yang menyebutkan beberapa diantaranya adanya faktor keserakahan, kesempatan dan kebutuhan. Pada konteks kebutuhan ini bahwa semua manusia pasti membutuhkan "untuk hidup", namun "bukan kemewahan hidup". Jadi ada identifikasi kebutuhan hidup dan gaya hidup. Bila pemimpin atau siapa saja yang berpotensi melakukan korupsi tidak terjebak maka "gaya hidup" maka kemungkinan besar lepas dari pusaran cluster korupsi.