Sekolah Sebagai Solusi
Sedikit uraian di atas adalah situasi di lapangan yang terjadi, bukan yang ada di lembaran-lembaran kertas bereferensi. Sekolah dan rumah harus bersinergi, tentu. Itu yang sedang juga terjadi, namun begitu yang terlihat hanyalah tuduhan intimidasi.
Tawaran solusi, sekali lagi, ketika tersebut kata tawaran maka yang menentukan jawaban adalah yang ditawari bukan yang menawari, atau dalam hal ini si anak dan wali murid, bukan “yang lain”.
Beberapa pandangan yang perlu penulis sampaikan adalah sebagai berikut :
Pertama, anak didik adalah sebagaimana anak sendiri, bolehlah secara biologis diibaratkan bahwa seorang murid adalah anak dari bapak / ibu guru nya di sekolah. Maka wajib seorang guru memberikan pendidikan yang terbaik bagi anaknya. “Right or wong is my children”, namun ada saat dan situasi tertentu sekolah merasa tidak mampu untuk memberi pendampingan maksimal, maka sekolah menawarkan untuk “memindah” tempat belajar ke pondok pesantren yang khusus menangani anak-anak korban tindakan asusila (bukan pondok pesantren umum/biasa).
Kedua, kita sangat menghormati pandangan para ahli tentang resiko psikologis yang timbul karena “dipisahkannya” sang ibu dengan si anak yang belajar di pesantren. Tapi jangan lupakan bahwa si anak di sekolah hanya setengah hari, sesampainya di rumah tidak ada orang karena ibunya masih bekerja pulang sore. Sekolah lepas kontrol dan sekolah tidak punya akses untuk masuk rumah begitu saja. Apakah tidak terpikirkan kalau si anak bisa saja keluar main dengan pacarnya, sedangkan menurut guru BK anak seperti bisa saja berpotensi melakukan hal yang sama dengan pacarnya itu, dan bisa mengakibatkan sesuatu yang lebih buruk. Anda sedang mengira ini diskriminasi? Kami menyebutnya proteksi. Di pesantren si anak mendapatkan arahan, bimbingan, dan perlindungan 24 jam sehari.
Ketiga, sebagaimana tanggungjawab orang tua kepada anaknya, maka segala kebutuhan biaya di pesantren sekaligus biaya hidup selama sekolah ditanggung oleh sekolah dimana dia belajar sekarang. Ada yang masih menganggap ini pengusiran, penelantaran, atau pembunuhan berencana sekalian? Kami katakan: “Ini pertanggungjawaban”.
Semua Bisa Ber-orasi
Para ahli yang terhormat, perkenankan kami manyampaikan bahwa lingkungan pedesaan itu bukan kelas Psikologi semester empat, yang selalu menanggapi setiap situasi dengan bijak tanpa mengumpat.
Wali murid kami bukanlah orang-orang yang semuanya berdasi, bersisiran rapi dan bergelar tinggi yang paham dengan presentasi. Anda berpikir kami bisa makan nasi setiap hari? Kenapa tidak sekalian saja anda orasi tentang kemajuan teknologi?.
Masyarakat sekitar sekolah ini bukanlah sekumpulan mahasiswa yang sedang kuliah. Beri kami sampah sehingga kami bisa olah, kami sudah lelah dengan kutbah.