Mohon tunggu...
HERIE FENDI
HERIE FENDI Mohon Tunggu... -

My words, My world.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Korban Asusila dan Pandangan Sepihak

16 Mei 2016   10:56 Diperbarui: 16 Mei 2016   11:05 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertama tentu kita pahami bahwa anak yang “dipaksa” berhubungan badan dengan ayah tirinya adalah “korban”. Kita sepakati hal ini dengan satu pertanyaan klasik “Memang siapa sih yang ingin menjadi seperti itu”? Apalagi si anak masih kecil, seumuran anak SD kelas atas, yang dengan dramatis kita dengar si ayah telah secara kontinyu melakukan tindakan melanggar norma itu sampai menginjak awal masuk SMP.

Tidak lama kemudian muncul reaksi dari beberapa pihak terkait yang mengaku peduli dengan kasus semacam ini, mulai praktisi kejiwaan sampai pendampingan yang melibatkan para ahli. Semuanya punya asumsi, dan masing-masing dari mereka mencoba menawarkan solusi. Namun begitu yang saya lihat tidak lebih dari pada yang setiap kali diucapkan Denny Candra di setiap ia membuka acara.

Lingkungan dan Pandangannya

Paling tidak ada tiga ruang utama dimana si anak tinggal dan bercengkrama, yaitu: Sekolah, keluarga, dan lingkungan sekitar tempat tinggal. Sekolah menjadi yang utama karena di sinilah si anak paling banyak hidup dengan teman sebayanya, dunia anak-anak dengan segala keluguannya, walaupun secara waktu disini bukan yang terlama.

Sekolah dengan dasar dan dalil yang ada tentu sudah memberikan pengertian kepada seluruh warga sekolah bahwa tanpa 4 orang saksi dewasa yang melihat dengan mata kepala, siapapun dilarang untuk menuduh seseorang telah berzina, bukti forensik lah yang mengatakannya. Ini penekanan yang tidak dilihat oleh pihak-pihak yang secara sepihak melihat kasus. Anak-anak tahu, paham, ngerti kalau menuduh orang berzina tanpa bukti dan berzina adalah sama-sama dosa besar. Anak-anak telah diwanti-wanti untuk jangan pernah memberikan stigma negatif kepada Korban. Sebaliknya, justru didekati, digauli, dan diperlakukan sebagaimana mestinya.

Sehari dua hari situasi ini ini sangat mungkin terjadi, suasana nyaman seolah tidak terjadi apa selaras dengan bimbingan sekolah. Selang beberapa lama mari kita lihat, apakah orang tua anak-anak lain akan nyaman melihat anaknya berdekatan dengan korban? Orang tua kan berhak punya prinsip untuk menjaga anaknya dari pengaruh atau pengalaman-pengalaman yang bisa saja didengar tanpa kontrol.

Apakah kita tidak miris mendengar anak-anak lain yang kembali berbaur di lingkungannya juga mendapatkan pandangan negatif dari tetangganya? “Itu teman kamu ya yang masuk koran?” Harus berapa lama lagi sindiran-sidiran semacam ini akan berlangsung. Apakah dengan merelakan 1 anak kita akan mengorbankan ratusan anak?

Sekolah apalagi, “jangan sekolah disitu, nanti kamu ketularan nakal”, dan kalimat-kalimat senada.

Rumah dan Stigma Masyarakat

Rumah adalah sekolah pertama dan tempat pendidikan utama, bisa jadi menjadi surga dimana seorang anak bergaul dengan ibu kandungnya, meluapkan keluh kesah, isi hati, dan harapan-harapannya ketika si ayah sedang berada di rumah yang lain, penjara. Waktu di rumah adalah yang utama, walau kedamaian suasana rumah kadang “terganggu” oleh pandangan miring masyarakat maupun pengaruh-pengaruh luar yang lain. Sekolah sebenarnya mempunyai akses yang baik dalam rangka menyelesaikan permasahan ini, namun begitu sekolah terbatas, atau kalau boleh penulis sebut “dibatasi” oleh pemikiran-pemikiran yang hanya terkesan basa basi.

Lingkungan sekitar. Seorang ibu yang tinggal di desa biasa mempunyai komunitas di samping kesibukan utamanya menjadi tulang punggung keluarga, seperti bergabung di arisan, jamaah yasinan, dan kelompok pengajian. Situasi di sini menentukan karena eksistensi sesorang bisa sangat berbeda ketika sebuah kejadian seperti ini terjadi. Mulai sindiran, gunjingan, sampai hal-hal yang menimbulkan ketidaknyamanan. Oh sungguh kasihan sekali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun