Mohon tunggu...
Heri Kuseri
Heri Kuseri Mohon Tunggu... -

Putra Tegal Yang sedang belajar berbagi Manfaat.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Awal Belajar Resensi: Kebahagiaan Sejati

19 Agustus 2015   09:16 Diperbarui: 19 Agustus 2015   09:16 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

“Kebahagian sejati bukanlah dicintai, tetapi belajar mencintai.”

Judul Buku           : Air Mata Nayla: Kaukah Bidadari itu?

Penulis                : Muhamad Ardiansha El-Zhemary

Tahun Terbit        : Oktober 2012

Tebal Buku          : 320

 

Wasiat dari almarhum Kiai Ahmad telah membawa Ahmad Hanif dan kedua orang tuanya berada dalam kapal tujuan Kalimantan. Kiai Ahmad merupakan seorang murabbi (baca: pendidik ruhani maupun jasmani) di pesantren, ia meminta santrinya, Hanif, untuk mengikat jalinan suci dengan putri dari temannya, Kiai Jazuli, pengasuh pesantren Darussalam di Kalimantan.

Dengan alasan inilah Hanif memberanikan diri pergi ke Kalimantan guna memenuhi permintaan terakhir Kiai yang sangat dicintainya tersebut. Sebenarnya ia ragu, namun karena yang ngendiko (baca: berkata) ialah seorang yang dianggap sebagai kekasih Tuhan. Ia mengiyakannya begitu saja sesuai dengan tradisi yang ada di pesantren.

Sayangnya, perjalanan tersebut tidak sehalus sutra. Di tengah-tengah laut, perahu yang ditumpanginya tiba-tiba terbakar dan melahap seluruh awak kapal tak berbekas. Dari kecelakaan tersebut, hanya sebagian kecil yang nyawanya selamat. Termasuk Hanif, pemuda cerdas yang sedang memenuhi hajat terakhir Kiainya.

Tak hanya berhenti di situ, akibat lalapan si jago merah, Hanif menderita amnesia. Menurut visum dokter yang menanganinya, ia terbentur benda keras yang menyebabkan jidatnya harus dibalut kain kasa putih. Ia ditemukan hanyut terbawa ombak dengan lumuran darah di sekujur badan dan pakaiannya saat Pak Aziz miyang (mencari ikan) di laut. Seorang nelayan yang hidup pas-pasan dengan istri dan anaknya di tepi laut pulau Kalimantan.

Di tengah-tengah amnesianya tersebut, Hanif diberi nama Ahmad Leonardo. Nama yang diambilkan dari tulisan cincin yang dikenakannya. Ketika itu, dengan kehidupannya yang baru, Leonardo disekolahkan oleh keluarga Pak Aziz yang pada akhirnya mempertemukannya dengan seorang gadis ayu yang kemudian selalu mengisi angannya, Nayla namanya.

Nama itu terukir dalam di lubuk hatinya, walaupun ia juga sering ingat pesan Pak Aziz, orang tua baru yang selalu mengingatkannya akan kebajikan sesuai tuntutan agama. “Jangan terlalu bermain denggan cinta. Akan ada duka. . . “ ungkapan Pak Aziz terus terngiang dalam memorinya (baca halaman 89). Walaupun sebenarnya ia juga belum tahu benar tentang apa itu cinta.

Akan tetapi, amnesianya tak berlangsung lama, ia sadar tentang identitas dirinya saat terbangun di rumah sakit setelah beradu fisik dengan tomy dan kawan-kawannya saat membela Nayla. Setelah kejadian itu, Ia dan Nayla berpisah, gadis menawan yang dicintainya. Bukan karena ia sakit hati lantaran Leonardo tak mengenalnya lagi, namun lantaran perintah orang tuanya.

Akhirnya, karena kepasrahan mereka berdua, cinta mereka dipertemukan oleh Allah dalam jalinan suci atas wasiat Kiai Ahmad. Seolah Allah telah mengadiahkannya lantaran kesabaran dan ketulusannya dalam mencintai. Hal itu diungkapkan oleh Minan, sahabat yang setia menemaninya, “Tapi . . .ketika cinta itu mati . . . kamu tidak perlu mati bersamanya. Orang terkuat bukan mereka yang selalu menang. Melainkan mereka yang tetap tegar ketika mereka jatuh” (baca halaman 198).

Novel ini begitu sarat akan pemaknaan arti kehidupan. Isinya menggugah pembaca untuk selalu berbuat baik kepada orang lain, sekalipun kita tidak mengenalnya. Hal ini diilustrasikan oleh tindakan Pak Aziz yang menolong Hanif saat ia terdampar di pantai. Selanjutnya, dalam novel ini juga disebutkan bahwa hendaknya kita sebagai insan harus rela kehilangan segala sesuatu, keluarga, harta, jabatan, ingatan, nyawa, ataupun cinta sebagai fitroh (baca: sifat dasar) manusia. Karena hakikatnya, manusia hanyalah dapat merencakan, dan Tuhanlah yang berhak menentukan kemana arah rencana tersebut. Alhasil, rencana Allah lebih indah, bak ending dari kisah novel karya Muhamad Ardiansha El-Zhemary ini.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun