[caption caption="koleksi pribadi"][/caption]Blok M, Jakarta, suatu hari tahun 1995
Matahari sudah meninggi. Sinarnya menyebar ke seluruh penjuru bumi. Seperti menyebarnya aku bersama ratusan mahasiswa Sekolah Tinggi Akutansi Negara (STAN) di sejumlah pusat perbelanjaan Blok M. Sebagian lagi yang belum menerima rapelan gaji (Mahasiswa tingkat II STAN kala itu menerima gaji dan tunjangan) menyerbu kantor BBD (kini Bank Mandiri) Cabang Blok M. Dengan seragam hitam putih, mereka bagai pasukan yang berhasil memaksa pimpinan kantor BBD mengulur jam layanan nasabah. Seolah kami nasabah kelas kakap.
“Khusus untuk mahasiswa STAN, semua akan kami layani walaupun kasir tutup jam 3 sore,“ seru Satpam untuk menenangkan.
Hari ini adalah hari yang paling membahagiakan kami. Rapelan gaji turun. Karena jumlahnya banyak (akibat tetunda hampir setahun), maka kami mahasiswa STAN dan pihak Kementrtrian Keuangan memutuskan untuk memasukkannya dalam rekening BBD.
Seminggu lalu kami telah mengumpulkan dan mengisi form pembukaan rekening. Kini kami tinggal tanda tangan buku tabungan, sekaligus menarik uang sesukanya.
Bayangkan ada lebih 400 orang, buka rekening dan ambil uang sekaligus. Pasti terjadi antrian yang luar biasa.
Antrian dikoordinir ketua kelas masing-masing. Sialnya Setya, ketua kelasku, justru terlambat datang karena macet menghadang. Padahal antrian sudah mengular. Alhasil, wajah teman-teman sekelasku tampak lesu. Beberapa diantaranya bahkan penuh emosi tak terkendali.
“Kita bisa bersabar menunggu berbulan-bulan. Harusnya juga bisa bersabar hanya beberapa jam lagi, “ ucap Setya menenangkan.
Inilah sifat manusia, saat yang ditunggu di depan mata, kesabaran mereka justru sirna.
Para nasabah bank yang datang menatap kami penuh tanda tanya. Maklum ratusan mahasiswa duduk di lantai teras bank karena tak ada tempat duduk lagi. Mereka mirip anak terlantar tapi tak layak disantuni karena memakai seragam rapi.
Inilah penggalan kisah dalam Novel Mimpi-mimpi tak bertepi. Sebuah novel yang mengisahkan perjalanan anak-anak muda untuk meraih mimpi. Mimpi berkuliah di perguruan tinggi ternama tanpa membebani orang tua. Mimpi pakar keuangan. Mimpi menjadi ulama. Mimpi menjadi penulis. Mimpi menjadi pengusaha. Bahkan mimpi menjadi artis. Sebab mimpi-mimpi kami tak bertepi. Dan kami bukan sekedar pemimpi, tapi pemimpi yang berani langkahkan kaki.
[caption caption="Koleksi pribadi"]
Ada mimpi mereka yang terjungkal. Hanya karena dianggap memiliki “ dosa turunan “. Dosa karena orang tua/kakekneneknya pernah berseberanagn pandangan politik dengan pemerintah orde baru. Dosa yang mungkin tak pernah dipahami oleh Tuhan.
Tapi ada juga yang terjungkal hanya karena membolos kuliah demi menonton telenovela semata.
Novel “MIMPI-MIMPI TAK BERTEPI”, Ditulis olegh Pra atau Heri Prabowo. Alumni STAN tahun 1996. Penulis yang telah menulis novel, cerpen, artikrel opini dll. Tulisanya dimuat antara lain di Harian Kompas dan Jawa Pos. Penulis juga menjadi narasumber di TV One, Metro TV, Kompas TV dan Bloomberg TV untuk kasus perpajakan dan pencucian uang.
Selamat Membaca.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI