Mohon tunggu...
heri bdp
heri bdp Mohon Tunggu... Ilmuwan - فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

Aktivitas keseharian selalu membaca, tafakur dan tadabur alam, Tuhan dan manusia. Resolusi akhir, berharap tunduk patuh dihadapan-Nya dengan qalbun salim, ridha dan diridhai oleh-Nya, adalah gerbong pemberhentian yang hendak dicapai.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Dinamika Psikologi Masa Yunani Kuno, Helenistik, dan Abad Pertengahan

31 Januari 2021   09:55 Diperbarui: 31 Januari 2021   09:56 8014
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mediapakuan.pikiran-rakyat.com

Secara harfiah, psikologi terdiri dari kata Psyche yang berarti jiwa, dan logos yang berarti ilmu, jadi secara asal katanya bermakna Ilmu Jiwa (Khairani, 2016). Namun, makna tersebut masih terdapat kekaburan jika dimengerti sebagaimana adanya, karena jiwa adalah sesuatu yang abstrak. Selanjutnya, pembahasan mengenai “Jiwa” bukanlah sesuatu yang baru dalam dunia keilmuan, karena jauh beberapa abad silam telah terjadi perdebatan sengit dikalangan para cendekiawan, bisa dikatakan masa bahula. 

Sebagaimana tradisi dalam dunia akademik, sesuatu yang ada sekarang adalah hasil atau minimal terpengaruh dari apa yang mendahuluinya (baca: genesis ilmu). Jika ditinjau dari akar katanya, Psikologi ini berasal dari kata Yunani Kuno, sehingga pelacakan dari makna tersebut dapatlah dikaitkan dengan para ilmuwan kala itu, diantaranya:

Madzhab Monoism

Madzhab ini pada dasarnya memandang bahwa segala sesuatu itu bersifat tunggal, ruang lingkup perhelatannya lebih kepada pemahaman tentang alam (Marliani, 2014). Namun, tak terlepas juga mengenai Jiwa, diantara tokohnya adalah:

  • Thales (642-84 SM). Menurutnya, segala sesuatu itu berasal dari air, atau sesuatu yang ada itu disebabkan karena air (nampak), sedangkan jiwa adalah sesuatu yang tidak nampak, sehingga baginya jiwa itu tidak ada
  • Anaximander (611-546 SM). Segala sesuatu berasal dari apeiron (tak terbatas: Tuhan). Sehingga jiwa itu ada.
  • Anaximenes (490-430 SM). Pendapatnya menyataan bahwa segala sesuatu itu berasal dari udara, sehingga jiwa pun berarti sesuatu yang ada (dari udara)
  • Empedokles (490-430 SM). Unsur dalam alam terdiri dari udara, tanah, air, dan api. Dan pada diri manusia terdapat keempat unsur tersebut, sehingga jiwa pun ada
  • Hipokrates (460-375 SM).  Jiwa dapat diklasifikasikan kedalam empat jenis sesuai dengan cairan tubuh yang dominan ada manusia (sanguine, melankonis, kolerik, dan plegmatis)
  • Demokritos (460-370 SM). Pencetus teori atom (sesuatu yang tidak dapat dibagi lagi), jiwa dikatakan olehnya sebagai seusatu terdiri dari atom-atom

Mazhab Dualisme

Madzhab ini lebih memandang segala sesuatu itu mempunyai dua unsur, terlebih dalam pembahasan mengenai jiwa pada manusia (berbeda antara unsur jiwa dan unsur manusia-Tubuh), diantara tokohnya adalah:

  • Socrates (470-399 SM).  Menurutnya, jiwa adalah Tuhan (Tuhan menyatu dalam jiwa), pada dasarnya manusia adalah jiwaitu sendiri, sehingga manusia akan mengenal Tuhan jika pandai dalam mengenal diri sendiri.
  • Plato (427-347 SM). Baginya, idea adalah jiwa dan jiwa paling ada dari segala yang ada, sehingga jiwa di sini muncul sebagai “penghubung” antaradunia idea dan dunia yang bertubuh.
  • Aristoteles (384-322 SM). Pandangannya mengenai segala sesuatu berkaitan dengan form and matteri, kedua jenis tersebut jika bersatu terbentuklah sesuatu yang eksis dan hidup. Namun, Tuhan merupakan substansi murni form, tanpa matter, sehingga Tuhan adalah pemilik segala jiwa, Dia tidak bergantung pada jiwa selainnya, sebaliknya jiwa-jiwa lain yang bergantung pada Tuhan.

Melalui kedua pandangan madzhab tersebut, perkembangan selanjutnya mengenai jiwa terus bergeliat sepanjang dialektika keilmuan pada masing-masing zamannya, setidaknya para pemikir awal tersebut telah mengahntarkan kita pada pencarian makna mengenai jiwa itu sendiri. Alhasil, dengan mengenal lebih dalam tentang jiwa, kita dapat mengenal diri sendiri, makhluk lain, dan tentunya Tuhan Pencipta Jiwa.

Masa Helenistik dan Abad Pertengahan

Sebelumnya, memandang masa Helenistik dan abad pertengahan perlu diuraikan sedemikian rupa, agar geneologi dari pembahasan mempunyai keterkaitan dengan pembahasan materi pada psikologi masa Yunani Kuno. Singkatnya, masa Helenistik dimulai dan terjadi pada pemerintahan Alexander Agung (3589-23 SM), dimana kala itu pembahasan mengenai ilmu pengetahuan mulai bergerak dari ranah teoritis menuju praktis di kehidupan. 

Masa ini mempunyai ciri khas dimana seseorang disebut mempunyai kebijaksanaan jika ia mampu mengatur hidupnya menurut budinya. Berbagai aliran yang terlahir pada masa ini antara lain Epikurisme, Stoaisme, Skeptisisme, dan Neoplatonisme, bisa dikatakan masa ini merupakan akhir dari diskursus keilmuan Yunani klasik menuju abad pertengahan (Nurasiah FakihSutan Hrp, 2010).

Abad pertengahan, khususnya di dunia Barat adalah tanda awal dari keberpengaruhan dogma (ajaran Kriten) gereja pada bidang keilmuan secara menyeluruh, masa ini berlangsung selama seribu tahun. Ciri khas masa ini ditandai dengan otoritas gereja dalam perkembangan ilmu (sehingga lambat), ajaran yang tersebar berpangkal pada pemikiran Aristoteles, dan banyak pemikiran dari tokoh yang berpangkal dari ajaran agama. 

Abad pertengahan jika ditinjau lebih jauhm terbagi menjadi dua masa dalam perjalanan sejarahnya, yakni masa Patristik yang ditandai dengan pimpinan gereja dipilih dari golongan atas atau ahli pikir, dan masa skolastik (skolastik awal: berdirinya sekolah; skolastik puncak; berdirinya perguruan tinggi; dan skolastik akhir; kejenuhan dalam berfilsafat) yang ditandai dengan pendidikan melalui berbagai sekolah yang didirikan. Diantara tokohnya adalah Agustinas (354-430 M) dan Thomas Aquinas (1225-1275 M).

Dari kedua masa tersebut, pembahasan tentang psikologi lebih mengarah pada praksis di kehidupan dan bertautan dengan ajaran agama, sehingga tidak bebas nilai. Tema yang diangkat seputar penciptaan alam diciptakan oleh Yang Maha Tunggal; manusia dikaji melalui sudut pandang satu kesatuan, terlepas dari dualitas; kehidupan manusia dikaji sebagai bebas berkehendak. Namun, dengan sifat demikian memerlukan kendali Tuhan untuk menebus kesalahan atas kebebasannya dalam berbuat dosa.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun