Akal merupakan salah satu syarat mutlak adanya taklif (hukum) yang dibebankan kepada manusia. Akal merupakan salah satu piranti metode dalam meng-istinbath hukum Islam, atau kita lebih mengenal dengan istilah Ijtihad. Akal juga salah satu dari lima hal primer yang diperintahkan oleh syariat untuk dijaga dan dipelihara (hifzhu ad-daruriyyat al-khams). Agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta merupakan lima unsur dimana kemaslahatan dunia dan akhirat disandarkan pada unsur tersebut.
Dalam banyak ayat di Al-Qur'an kita dapat termui bahwa kita sebagai manusia disuruh untuk mempergunakan akal pikiran dalam mengamati dan meneliti laboratorium kehidupan yang lengkap, dirancang, dicipta dan dipelihara oleh Allah SWT yaitu alam semesta. Al-Qur'an mengajak manusia untuk memikirkan dan merenungkan tanda-tanda kekuasaan Allah SWT, yang ada di langit; bintang-bintang, planet, bulan, matahari yang susunan sangat menakjubkan dan peredarannya sangat mapan. Manusia juga diajak untuk merenungkan penciptaan bumi, laut, gunung-gunung, keajaiban dalam perut bumi, pergantian malam dan siang serta pergantian musim. Juga mengenai keajaiban penciptaan tumbuh-tumbuhan, binatang, sistem perkembangannya dan keadaan lingkungannya. Yang tak kalah pentingnya adalah untuk memikirkan penciptaan manusia sendiri, memikirkan alam batin dan hubungannya dengan Allah, SWT. Meneliti, memikirkan dan mengambil pelajaran dari peninggalan dan kisah-kisah orang terdahulu sebagai bukti keberadaan bangsa-bangsa dan kelompok-kelompok manusia
Begitu pentingnya akal, terdapat lebih dari 30 ayat yang menyatakan tentang akal (al-'aql) di Al Qur'an, antara lain afal ta'qiln (tidakkah kalian berpikir) sebanyak 15 ayat, la'allakum ta'qiln (supaya kamu berpikir) sebanyak 8 ayat, la ya'qiln (tidak mereka pikirkan) sebanyak 7 ayat, dan in kuntum ta'qiln, (jika sekiranya kamu pikirkan). Suruhan berpikir juga termasuk dabbara (merenungkan), faqiha (mengerti), nazhara (melihat dalam arti merenungkan), dimana ayat-ayat tersebut diulang-ulang berkali-kali untuk menekankan betapa pentingnya akal bagi manusia. Secara tidak langsung menegaskan potensi dan fungsi akal untuk menuntun manusia menemukan kebenaran agar dapat mewujudkan kehidupan yang lebih baik di dunia dan akhirat kelak.
Secara fitrah, akal tersetting untuk mendeskripsikan kebenaran. Akal dapat mengetahui perbedaan perbuatan buruk dan baik, cinta dan benci, kebohongan dan kebenaran, yang bathil dan yang haq. Meski begitu, manusia punya kelemahan dalam melawan nafsu sehingga mudah tertipu, dikelabui, terkecoh, tidak cermat, dan suka tergesa dalam bertindak tanpa berpikir terlebih dahulu. Kebanyakan juga terlalu malas menggunakan akal dan pikirannya, hanya menjadi pengikut buta seorang tokoh agama yang dijadikan panutannya. Hanya menelan mentah-mentah tanpa adanya proses penggunaan akal dan pikiran untuk mencerna hal yang diterimanya.
Pada akhirnya eksistensi dari berbagai persepsi mengenai agama yang akhirnya ada kaitannya dengan hal lain, kemudian menjadi suatu pembenaran yang harus menjadi kepercayaan tanpa adanya kritikan. Layaknya sebuah pendapat yang memang paten, agama akhirnya menjadi satu gagasan yang kemudian menjadi sebuah pembenaran mutlak, dan tidak bisa diganggu gugat. Kita bisa lihat mereka yang berusaha menjadikan negara Indonesia sebagai negara Islam, dengan doktrin yang mereka bawa.
Hal tersebut tentu saja tidak sejalan dengan perintah Al-Qur'an untuk berpikir dan hadist yang menyuruh manusia untuk menimba ilmu, sampai ke negeri China sekalipun atau sampai akhir hayat, dimana menuntut ilmu adalah kewajiban bagi seorang muslim. Tujuannya agar kita tidak melihat satu fenomena dari satu sudut pandang saja, tidak seenaknya mengubah suatu negara yang sudah memiliki ideologinya sendiri dengan ideologi yang diyakininya dan mengaitkan jalan yang mereka tempuh sebagai "jihad". Padahal arti "jihad" sesungguhnya tdaklah demikian.
Itulah mengapa kita diwajibkan menuntut ilmu, agar kita pisa pahami bahwa tidak semua hal yang ada di dunia ini bisa kita tanggapi hanya dari satu sudut pandang saja, harus ada pandangan lain yang kemudian dapat kita pelajari dan kita tarik titik tengahnya. Dari situlah kita bisa paham bagaimana menentukan sikap yang benar dalam menanggapi suatu fenomena. Pada akhirnya, semakin banyak ilmu, semakin bijak dan toleran, tidak fanatik terhadap ajaran agama, justru dapat memaknai ajaran agama bahwa keberagaman adalah sunnatullah yang harus kita terima dan jalani dalam kehidupan ini. Kita hidup di dunia ini pada dasarnya berdampingan dengan orang yang latar belakangnya berbeda, pun dengan agama yang mereka anut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H