Sejarah pengorbanan yang dilakukan Nabi Ibrahim as di Lembah Mina yang sepi dan sunyi tidak lepas dari godaan setan, ia melancarkan berbagai rayuan agar Nabi Ibrahim as mengurungkan niatnya untuk menyembelih anaknya sendiri. Godaan setan yang demikian kuat itu tidak menggugurkan ketauhidan seorang hamba kepada Tuhannya.Â
Pada akhirnya Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as memenangkan ujian iman dan berhasil melawan ego dirinya. Pada akhirnya Allah SWT melihat keikhlasan keduanya dalam mentaati perintah, kemudian mengganti Nabi Ismail dengan seekor domba.
Musuh terbesar manusia itu adalah dirinya sendiri (hawa nafsu), namun sahabat terbaik manusia pun dirinya sendiri. Kita sendiri yang menentukan apakah diri sendiri akan menjadi musuh atau sahabat terbaik. Kisah diatas dapat menjadi teladan bagi kita bahwa mengalahkan hawa nafsu dan taat pada perintah Allah SWT akan mendatangkan hal baik bagi kita.Â
Nabi Ibrahim as, seorang bapak yang telah lama menantikan kehadiran seorang anak dalam kehidupannya, bisa saja ia menolak meninggalkan anak dan istrinya di tempat yang sunyi dan tdak mau menyembelih anaknya. Namun ia berhasil mengalahkan hawa nafsunya untuk tetap menyayangi dan membersamai anaknya, ia memilih jalan ketaatan dan membuang ego dirinya. Begitu pun dengan sang anak, Nabi Ismail as, tidak ada sedikitpun amarah kepada bapaknya yang telah meninggalkannya di tempat yang sunyi lantas ingin menyembelih dirinya.
Tentu saja hal tersebut tidak terlepas dari keberhasilan bapak dan ibunya dalam mendidik, terutama sang ibu. Nabi Ibrahim as meninggalkan Siti Hajar dan Nabi Ismail as di daratan tandus dan kering, sebuah gurun yang sangat panas, gersang tanpa peradaban, tidak ada seorang pun manusia dan tidak ada makanan sama sekali, hanya perbekalan yang dibawanya saja.Â
Siti Hajar tentu saja bertanya mengapa mereka ditinggalkan disana, namun setelah menanyakan beberapa kali, akhirnya ia hanya bertanya, 'Aku ditinggal disini atas kehendakmu atau atas kehendak Allah SWT?' Ketika Nabi Ibrahim as menjawab atas kehendak Allah SWT, lalu Siti Hajar tanpa berpikir apa-apa hanya sami'na wa atho'na. Ia ber-husnudzon bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan mereka, dan setelah itu, ia tak bertanya lagi.Â
Saat perbekalan habis dan air susunya sudah kering, ia berlari kecil ke bukit Shafa lalu ke bukit Marwah untuk mencari pertolongan. Namun tak seorang pun yang ditemui di tanah tandus itu. Siti Hajar pun berdoa agar pertolongan Allah segera datang. Akhirnya muncul sebuah mata air, yang tidak pernah kering sampai saat ini, yang disebut zamzam.
Mungkin saja kalau hal tersebut terjadi pada diri kita, reaksi kita tidak mungkin bisa husnudzon, tawakal dan sabar. Pastilah heboh curhat di media sosial, bisa jadi sambil kasih caption 'Bang Toyib gak pulang-pulang, tiga kali puasa, tiga kali lebaran', sementara Siti Hajar ditinggal kurang lebih tiga belas tahun lamanya. Ketika Nabi Ibrahim as datang, ia menyampaikan bahwa Nabi Ismail akan disembelih atas perintah Allah SWT, lagi-lagi jawaban yang diberikan kepada ayahnya adalah bukti ketaatan pada Allah SWT "Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar" (surat As-Saffat 102)
Sebagai sosok yang sangat taat pada perintah Allah, Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as melakukan apa yang telah menjadi ketetapan bagi keduanya. Sedih dan dipenuhi linangan air mata sudah pasti, di satu sisi, Nabi Ibrahim as harus melaksanakan perintah-Nya. Di sisi yang lain, ia sangat sayang pada anaknya.Â
Begitupun dengan Nabi Ismail as, ia masih tidak ingin berpisah dengan ayah dan ibunya. Namun adanya perintah Allah harus lebih ia kedepankan dari yang lainnya. Semua itu dilakukan bahwasanya seorang hamba haruslah mengikuti semua perintah-Nya. Keteladanan yang luar biasa, tidak ada yang lebih mulia selain mengikuti perintah-Nya dan tidak ada kenikmatan yang lebih sempurnya selain menjalankan semua kewajiban-Nya.
Keteladanan diatas juga dapat menjadi jawaban sikap kita bagaimana mengatasi egosentris beragama yang kerap muncul di tengah masyarakat. Tidak benar menganggap keyakinan atau pandangan kita adalah yang paling benar kepada mereka yang berbeda keyakinan, cukup kita imani bahwa apa yang kita anut adalah yang paling benar tanpa harus mengusik ketentraman dan kedaamaian penganut keyakinan lain.Â
Harus sadar batasan agar tidak menjadi konflik horisontal, ketika sikap menolak pandangan atau praktik agama orang lain terjadi di tengah-tengah keyakinan masyarakat yang beragam.
Egosentris dalam beragama merupakan hawa nafsu, bukankah Allah SWT dalam firman-Nya menyatakan bahwa memang keberagaman adalah kehendak-Nya (sunnatullah). Oleh karena itu, kita harus melawan segala bentuk tindakan egosentris dalam beragama, jangan sampai dibiarkan menjadi akut dan nantinya membuahkan pemikiran radikal.Â
Kita tidak mau jika prasangka-prasangka terhadap mereka yang berbeda keyakinan atau satu keyakinan tapi beda pemahaman menjadi tindakan diskriminasi dan ketidakadilan karena merasa bahwa keyakinan kelompoknya harus diperjuangkan dengan cara apapun. Kita harus mencegah agar jangan sampai egosentris dalam beragama melahirkan konflik di tanah air tercinta.
Setiap kali bertindak hendaknya kita bertanya pada hati kecil kita, kehendak kita kah, atau kehendak Allah SWT? Kalau ada kekerasan dan ketidakadilan sudah pasti bukan kehendak Allah SWT, niat yang benar jika prakteknya salah maka jadi akan salah di mata Allah SWT.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H