Salah satu budaya Indonesia adalah silaturahmi. Silaturahmi in seringkali juga disebut silaturahim. Berasal dari bahasa arab. Yaitu shilah, yang berarti hubungan atau relasi dan Rahim, yang berarti kerabat atau kasih sayang.Â
Silaturahim di Indonesia pada dasarnya tidak memandang latar belakang. Tidak peduli apa agama dan asal muasalnya. Semuanya bisa saling berkunjung, saling membangun kesadaran bersama, saling membantu dan saling memahami.
Silaturahmi tidak hanya identik dengan nilai budaya, tapi juga dengan nilai-nilai keagamaan. Dalam Islam menjelaskan pentingnya menjaga silaturahmi. Karena silaturahmi merupakan salah satu jalan menuju surga.Â
Dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim, Nabi Muhammad juga menegaskan tentang tidak masuk surga bagi siapa saja yang memutus hubungan silaturahmi. Ini menunjukkan betapa pentingnya masalah silaturahmi dalam Islam.
Memperkuat silaturahmi tidak bisa ditinjau dari sudut pandang agama saja, tapi juga perlu upaya-upaya yang lebih kreatif dan related dengan kondisi sekarang. Hal ini penting untuk menjaga keutuhan keluarga dan memeliharan persaudaraan. Misalnya dengan cara retreat, kemah dengan keluarga, saudara atau teman, makan bersama, atau menciptakan event dengan kebersamaan. Semua itu merupakan bagian dari menjalin silaturahmi antar sesama.
Menjaga semangat silaturahmi tidak hanya penting untuk individua tau keluarga, tapi dalam skala yang lebih besar seperti masyarakat atau negara juga sangat diperlukan. Hal ini penting terlebih Indonesia merupakan negara dengan tingkat keberagaman yang sangat tinggi.Â
Dari Aceh hingga Papua, tersebar adat dan budaya yang bermacam-macam. Dengan memperkuat silaturahmi lintas etnis, akan semakin memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa.
Selain itu juga akan mengikis segala bentuk bibit kebencian, yang belakangan ini masih terus terjadi di media sosial. Jika kita telisik lebih dalam, maraknya ujaran kebencian di media sosial ini, umumnya mempersoalkan mengenai keberagaman, perbedaan pandangan , perbedaan politik, atau perbedaan keyakinan.Â
Persoalan suka tidak suka pun, kini sudah memicu terjadinya kebencian di media sosial.
Dengan membiarkan bibit kebencian ini, kita dan lingkungan sekitar, akan dengan mudah memicu amarah. Ketika amarah terus memuncak dan tidak terkendali, lalu kita terprovokasi dengan berita hoaks dan informasi yang bersifat provokatif, maka disitulah potensi terjadin bibit intoleransi dan radikalisme.Â
Yang awalnya hanya ditataran pikiran, lalu menyebar ditataran perilaku. Tak heran jika aksi pembakaran masjid Jemaah Ahmadiyah masih terjadi. Kelompok minoritas masih terjadi diskriminasi. Penyegelan tempat ibadah juga masih terus terjadi. Dalam konteks radikalisme, hal tersebut bisa mendekatkan pada bibit terorisme.
Apa yang terjadi jika diantara kita tidak saling bertutur sapa, tidak saling berinteraksi. Tentu saja bibit radikalisme yang menyusup melewati kebencian tersebut, akan terus menyebar kemana-mana. Tentu saja kita tidak ingin generasi mendatang, menjadi generasi yang provokatif, generasi pembenci yang mudah marah.Â
Negeri ini butuh generasi yang cerdas, generasi inovatif, kreatif, tapi tetap tidak meninggalkan nilai-nilai kearifan lokal. Mari terus perkuat nilai-nilai silaturahmi. Mari terus tularkan semangat silaturahmi ke setiap generasi. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H