Mohon tunggu...
Herry Gunawan
Herry Gunawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - seorang pemuda yang peduli

Saya seorang yang gemar fotografi dan travelling

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

2022 dan Urgensi Mewujudkan Tahun Toleransi

6 Januari 2022   00:11 Diperbarui: 6 Januari 2022   00:34 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

2021 baru saja berlalu. Kini, tantangan di 2022 telah menunggu. Sebagai bangsa yang majemuk, yang berisi beragama suku, agama, bahasa dan budaya, tentu upaya mewujudkan toleransi menjadi tantangan tersendiri. Meski, toleransi bukanlah hal yang baru bagi Indonesia. Karena dalam setiap adat suku-suku yang tersebar di Indonesia menjunjung tinggi nilai toleransi. Namun, maraknya propaganda radikalisme dan intoleransi di media sosial, menjadikan sentiment negatife untuk terus memupuk toleransi di negeri ini.

Maraknya ujaran kebencian di media sosial juga merupakan bagian dari bibit intoleransi yang harus dilawan. Kenapa? Karena intoleransi dan kebencian merupakan bagian dari radikalisme. Dan radikalisme merupakan bibit dari tumbuhnya paham terorisme. Untuk itulah perlu terus memupuk dan mempertahankan nilai-nilai toleransi. Ingat, Indonesia mengenal budaya saling menghormati, menghargai dan tolong menolong antar sesama. Budaya luhur tersebut harus terus dijaga, agar kita tidak mudah terpapar paham menyesatkan.

Di 2022 ini, tentu semua orang berharap kita semua bisa hidup berdampingan, hidup rukun dalam keberagaman. Karena keberagaman di negeri ini merupakan keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Untuk itulah menjadi tugas kita bersama untuk menjaganya. Meski pada prakteknya, masih saja ada pihak-pihak yang secara sengaja mengganggu kerukunan antar umat beragama yang sudah lama terjalin. Pada tahun 2021 kemarin, indeks kerukunan umat beragama (KUB) di Indonesia rata-rata berada di skor 72,39, naik 4,93 dibanding tahun sebelumnya. Sementara, indeks KUB jika berdasarkan indeks toleransi mencapai 68,72, berdasarkan indeks kerjasama mencapai 73,41 dan indeks kesetaraan mencapai 75,03.

Sementara itu, indeks radikalisme di Indonesia masih ada meski cenderung mengalami penurunan. Berdasarkan riset BNPT, indeks radikalisme di 2021 sebesar 14 persen. Sebelumnya di 2017 mencapai 55,2 persen dan di 2019 sebesar 38,4 persen. Dengan masih tingginya indeks toleransi, semestinya bisa membuat kita semakin memantapkan tekad untuk terus mengimplementasikan nilai-nilai toleransi dalam kehidupan sehari-hari.

Sekali lagi, toleransi merupakan keniscayaan di Indonesia. Tanpa ada toleransi, kemajemukan di Indonesia hanyalah tinggal cerita. Akan banyak konflik antar suku, antar agama, atau antar latar belakang yang  berbeda, hanya karena persoalan yang sepele. Indonesia sendiri pernah punya pengalaman konflik SARA. Karena bibit toleransi itu masih ada, pihak yang bertikai akhirnya bisa mendapatkan perdamaian.

Dan menyuarakan perdamaian harus terus dilakukan, agar bibit toleransi itu tidak mati ditelan masifnya radikalisme di media sosial. Harus dicarikan berbagai cara untuk terus menumbuhkan toleransi. Saatnya untuk memahami diri sendiri dan memahami lingkungan, agar kita bisa hidup berdampingan dalam keberagaman. Dengan hidup berdampingan dalam keberagaman, seperti halnya taman bunga yang dipenuhi dengan warna-warni bunga, begitu indah untuk dipandang. Begitu juga dengan Indonesia. Warna warni keberagaman itu justru membuat Indonesia tidak semakin indah, tapi juga semakin kaya. Salam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun