Apa yang kita pikirkan, itulah yang kemudian akan tertuang dalam setiap ucapan dan tindakan. Jika yang kita pikirkan positif, maka outputnya pun juga positif. Sebaliknya, jika yang dipikirkan selalu negative, hasilnya pun juga akan negatif. Lalu, apa yang dipikirkan oleh pasangan muda yang baru menikah 6 bulan lalu memutuskan meledakkan diri di gereja Katedral, Makasar? Kira-kira apa yang ada dipikiran perempuan 26 tahun, yang membawa airgun dan menyerang petugas di Mabes Polri? Semuanya meninggal. Dan meninggalnya itu, dimaknai sebagai syahid karena telah melakukan jihad? Apakah benar? Tentu tidak. Karena Islam, agama yang mereka anut, tidak pernah mengajarkan jihad dengan cara meledakkan diri atau menyerang petugas kepolisian.
Ibarat makanan, jika makanan yang kita makan sehat, maka akan memberikan manfaat yang sehat pula pada tubuh. Begitu juga dengan informasi yang kita serap. Jika informasi yang kita serap adalah informasi yang menyesatkan, tentu pikiran kita pun juga akan ikut menyesatkan. Maraknya konten radikal di media sosial, banyak yang diserap oleh generasi milenial. Apalagi anak muda yang memang ingin belajar agama secara virtual, seringkali salah dalam memahami karena masuk ke konten-konten radikal. Seperti contoh yang disebutkan diatas tadi. Karena pemahaman yang salah sejak dari dalam pikiran, maka outpunnya pun juga ikut salah.
Mari kita gunakan logika. Agama memang berbicara tentang keyakinan. Surga dan neraka belum ada yang mengetahuinya. Karena ada penjelasannya di dalam Al Quran, maka umat muslim pun mempercayainya. Berbagai referensi juga menyatakan hal tersebut. Dengan banyaknya literasi yang menjelaskan tentang hal ini, akan semakin menguatkan keyakinan tersebut.
Lalu, ada anggapan mati karena melakukan jihad termasuk kategori syahid. Mati karena sedang menjalankan ibadah, akan mati syahid. Hal ini pun juga banyak penjelasannya. Namun, apakah meledakkan bom bunuh diri itu bagian dari jihad? Apakah meledakkan bom bunuh diri itu bagian dari mati syahid? Banyak kalangan masih memperdebatkan hal ini. Kenapa diperdebatkan? Karena memang tidak ada dasarnya, dan semestinya tidak perlu diyakini.
Untuk memahami agama secara utuh, harus bisa memahami berdasarkan konteksnya. Karena perkembangan zaman akan melahirkan konteks yang berbeda. Jangan memahami agama berdasarkan apa yang tertulis saja. Jihad di era dulu memang identik dengan perang, karena maraknya kaum kafir di sekililng Rasulullah SAW. Orang kafir adalah orang yang tidak mengakui Tuhan. Dalam konteks sekarang, tentu tidak bisa disamakan dengan konteks dulu. Orang yang berbeda agama tidak bisa dikatakan kafir, karena negeri ini mengakui agama lain selain Islam. Ingat, Indonesia bukanlah Arab Saudi. Jadi tidak bisa selalu membawa nilai-nilai Arab untuk masuk ke dalam Indonesia.
Dalam konteks sekarang, bekerja untuk menghidupi keluarga saja, bisa diartikan sebagai jihad. Menumpahkan darah dalam konteks sekarang jelas tidak dibenarkan. Mungkin orang membandingkan dengan jihad di era kemerdekaan. Sekali lagi, lihatlah berdasarkan konteksnya. Penjajahan telah merebut kemerdekaan manusia. Dan manusia pada dasarnya dilahirkan merdeka sejak lahir. Jika kemerdekaan itu direnggut, maka sudah semestinya kemerdekaan harus direbut.
Saat ini, juga marak sekali provokasi dan penyebaran ujaran kebencian. Tanpa disadari, jika kita ikut larut dalam kebencian tersebut, segala hal yang kita lakukan pun akan terus dilandasi sikap kebencian. Jika ini yang terjadi, lantas apa bedanya dengan yang dilakukan oleh kelompok radikal, yang senantiasa membenci pihak yang berseberangan? Padahal keberagaman di negeri ini merupakan sebuah kenicayaan yang tak bisa dihindarkan. Kita tinggal di negara yang damai, yang toleran, dimana masyarakatnya bisa hidup berdampingan dalam keberagaman. Mari jaga pikiran kita agar senantiasa tetap toleran. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H