Seiring dengan perkembangan teknologi, seringkali diantara kita justru berubah menjadi pribadi yang liar. Saling hujat, saling menjelekkan dan saling menjatuhkan antar sesama justru semakin marak di dunia maya. Perilaku semacam ini jelas sangat disayangkan. Entah apa yang dicari. Tanpa disadari, mengumbar kebencian di depan publik akan mendekatkan diri pada bibit radikalisme. Ironisnya, penyebar kebencian ini dilakukan oleh siapa saja. Ada elit politik, influencer, tokoh masyarakat, dan masih banyak lagi.
Belakangan, media ramai membicarakan tentang cuitan Abu Janda yang dianggap rasis terhadap Natalius Pigai. Abu Janda dilaporkan ke polisi, dan pihak kepolisian pun sedang dalam proses melakukan penyelidikan. Kalau diantara kita menyadari bahwa kita pada dasarnya berbeda, mungkin tidak akan terjadi cuitan tersebut. Mungkin karena tidak bisa mengendalikan amarah, berujung pada tindakan yang tidak menyenangkan.
Terlepas apapun motifnya, mengunggah cuitan rasis, atau berisi ujaran kebencian adalah perilaku yang tidak benar. Terkadang diantara kita tidak sadar, atau merasa paling benar, sampai akhirnya melahirkan perilaku intoleran tersebut. Dan jika kita sudah membiasakan berpikir intoleran, maka perilaku dan ucapan kita pun akan ikut menjadi intoleran. Padahal, intoleransi tidak jauh berbeda dengan radikalisme. Kebencian hanyalah bagian awal dari intoleransi. Dan ketika sudah terpapar radikalisme, maka akan semakin mudah terprovokasi untuk melakukan tindakan teror.
Banyak hal yang bisa kita jadikan pembelajaran bersama. Jika kita belajar dari sejarah, Indonesia sangat lama sekali hidup dalam penjajahan. Dan ternyata, ketika itu sudah ada istilah adu domba. Politik adu domba ini dilakukan oleh penjajah, agar masyarakat tidak bersatu. Karena jika mereka bersatu, maka akan bisa melakukan perlawanan. Alhasil, banyak diantara masyarakat ketika itu tidak saling percaya, saling curiga, bahkan bisa saling bunuh demi mendapatkan imbalan dari penjajah. Praktek semacam itu sebenarnya tidak jauh berbeda dengan provokasi, ujaran kebencian dan perilaku intoleran di masa modern seperti sekarang ini.
Dari dulu, provokasi dan ujaran kebencian sudah ada. Dan dampak yang ditimbulkan sangat nyata. Dan kenyataannya, kita tidak mau belajar dari sejarah yang telah ada. Masih saja ada pihak-pihak yang secara sengaja menyebarkan provokasi, hate speech dan hoaks. Dan masyarakat yang tingkat literasinya rendah, sudah pasti akan mempercayai informasi bohong tersebut. Disinilah perlu introspeksi semua pihak. Sampai kapan kita akan terus saling berseteru, demi kepentingan yang tidak jelas. Ingat, ketika kita saling berseteru, yang dirugikan adalah kita sendiri. Dan lagi-lagi, sejarah telah mengajarkan hal tersebut. Tinggal kita mau mempelajari atau tidak.
Penting untuk terus mengingatkan bahwa kita adalah masyarakat Indonesia, yang kaya akan nilai-nilai kearifan lokal. Nilai-nilai inilah yang punya kemampuan deteksi dini terhadap paham-paham menyesatkan. Nilai kearifan lokal sudah teruji ketangguhannya dalam menyatukan segala keberagaman di negeri ini. Tak heran jika para pendiri bangsa ini pun mengadopsi nilai-nilai kearifan lokal untuk dimasukkan ke dalam Pancasila. Karena itulah, mari kita hidup berdampingan saling bergandengan tangan. Karena kita semua pada dasarnya saling bersaudara. Salam damai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H