Era kemerdekaan, generasi muda sibuk untuk berjuang mengusir penjajah. Ketika itu generasi muda juga sibuk memikirkan berorganisasi, agar melek informasi. Generasi mudah ketika itu juga berani berada digarda depan, untuk mewujudkan semangat merdeka.Â
Era reformasi, generasi muda yang banyak diwakili oleh mahasiswa, banyak menghabiskan waktunya untuk berdiskusi dan turun ke jalan. Hasilnya mereka bisa menumbangkan rezim orde baru. Di era milenial ini, generasi muda banyak tumbuh dan berkembang dengan kemajuan teknologi.
Tantangan generasi muda tentu berbeda di zamannya. Tantangan saat ini tentu berbeda dengan era kemerdekaan. Kemajuan teknologi sebenarnya bisa sangat membantu generasi muda saat ini, untuk mewujudkan segala keinginannya. Teknologi telah memudahkan segalanya.Â
Untuk mempelajari teori, pemahaman atau ilmu apapun, bisa dilakukan secara maya. Tidak perlu harus susah mencari buku. Semuanya bisa dilakukan dengan masuk melalui search engine, dan segala hal yang kita inginkan bisa diwujudkan.
Meski tantangan setiap generasi berbeda, ada sebuah persoalan yang selalu diperangi dan selalu ada di masing-masing era tersebut. Yaitu memerangi provokasi dan ujaran kebencian.Â
Di era penjajahan, memang tidak ada provokasi. Namun yang ada ada ketika itu adalah adu domba atau politik pecah belah. Masyarakat saling diadu agar tidak bisa bersatu, dan bertikai satu dengan yang lain.Â
Karena itulah perjuangan untuk merebut kemerdekaan ketika itu sulit tercapai, karena adu domba ini selalu terjadi. Politik kebencian ini juga selalu disusupkan dalam politik adu domba penjajah ini.
Di era reformasi, hal itu pun terjadi. Kekuatan mahasiswa yang menguat ketika itu, terus digembosi dengan berbagai cara. Dan di era milenial ini, provokasi dan ujaran kebencian masih terjadi. Bahkan intensitasnya semakin nyata, seiring dengan berkembangnya demokrasi dan kemajuan teknologi.
Kelompok penyebar provokasi dan kebencian itu, seringkali berlindung dibalik kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat. Namun, pemerintah rupanya juga mulai menyadari. Terlebih dunia maya sudah semakin masif dipenuhi dengan provokasi dan ujaran kebencian.
Dalam perkembangannya, provokasi ini bisa ditujukan untuk berbagai kepentingan. Di tahun politik, tentu akan ditujukan kepada pasangan calon, agar memang atau kalah.Â
Dalam kehidupan sehari-hari, kelompok radikal seringkal memanfaatkan hal ini untuk menyebarkan propaganda radikalisme. nilai-nilai keagamaan direduksi dan diartikan secara sempit. Ironisnya, tidak sedikit dari masyarakat yang terpengaruh dan menjadi korban akibat provokasi.
Korban apa maksudnya? Korban dari paparan radikalisme yang berujung pada tindakan intoleransi seperti diskriminasi, hingga aksi peledakan bom bunuh diri.
Mari saling control di dunia maya. Jangan lagi menyebarkan provokasi hanya untuk pentingan pribadi atau kelompok. Provokasi yang disertai ujaran kebencian, hanya akan menghilangkan akal sehat kita.Â
Terlebih jika sudah tersulit api amarah, makin tidak bisa terkontrol. Dan di masa pandemi seperti sekarang ini, kita harus bisa mengendalikan ego dan emosi agar tidak tersulut amarah.Â
Unjuk rasa silahkan, asalkan masih bisa dilakukan secara cerdas. Karena jika dilakukan secara cerdas, semestinya tidak mudah terprovokasi untuk melakukan tindakan-tindakan anarkis. Salam. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H