Sadar atau tidak, diskriminasi masih terjadi di lingkungan sekitar kita. Contoh yang paling sederhana adalah maraknya ujaran kebencian di media sosial. Hanya karena persoalan sepele, dengan mudah kita mengunggah hal-hal yang berisi kebencian terhadap seseorang atau kelompok tertentu.Â
Hanya karena tidak suka dengan karakter seseorang, dengan mudah kita menyatakan bahwa dia tidak baik dan segala macamnya. Lebih ironi lagi, hanya karena berbeda agama, ada yang menyatakan pihak yang berbeda agama adalah sebagai pihak yang kafir. Sungguh sangat ironis.
Menguatnya sentimen SARA dan politik identitas ini, tentu bukan tanpa sebab. Mari berkaca pada pilkada DKI tahun kemarin. Di situlah elit politik dan kelompok intoleran bersatu. Di situlah isu radikalisme menyusup di balik kerumunan massa. Apalagi ketika provokasi dan hoaks bersatu untuk menyuarakan isu tertentu, membuat masyarakat galau dan tidak bisa membedakan lagi mana benar mana tidak.
Ketika literasi masih belum menjadi rutinitas semua masyarakat, disitulah hoaks akan terus berkeliaran. Ketika cek dan ricek masih belum menjadi kebiasaan masyarakat, disitulah sulit membedakan mana valid mana bohong. Ketika hal itu terjadi, potensi provokasi berpeluang terjadi. Dan provokasi itulah yang pada akhirnya melahirkan perilaku diskriminatif di tengah masyarakat.Â
Apa itu perilaku diskriminatif? Di antaranya ujaran kebencian dan persekusi yang marak terjadi. Dan jika hal ini terus dibiarkan, tidak hanya mengganggu kerukunan yang telah ada, tapi juga akan melahirkan tindakan teror.
Bayangkan, jika generasi muda kita banyak yang menjadi korban provokasi, dan memilih bergabung menjadi jaringan kelompok radikal dan teroris. Berawal dari kebencian, terus naik dengan mempelajari ideologi radikalisme, sampai akhirnya bertutur dan berperilaku intoleran.Â
Mari kita ingatkan teman-teman dan saudara kita jika ada yang memilih menjadi radikal. Mari kita ingatkan bahwa hal tersebut merupakan pilihan yang salah.
Dalam pilkada 2020 mendatang, politik identitas diperkirakan masih akan terjadi. Sejumlah pihak memperkirakan trennya akan mengalami peningkatan. Yang terjadi pada tahun depan, tidak bisa dilepaskan dari apa yang telah terjadi dari tahun sebelumnya.Â
Akibat polarisasi di 2019, semua pihak menyadari bahwa politik identitas bisa menjadi instrument yang kuat dan murah, untuk melakukan mobilisasi massa dan suara. Dan hal itu terjadi di tahun-tahun sebelumnya. Bahkan tempat ibadah seringkali disalahgunakan sebagai tempat untuk menggalang dukungan.
Bagi kalangan yang mapan, baik dari sisi finansial, ilmu pengetahuan dan punya literasi yang kuat, tentu tidak akan mudah terpengaruh politik indentitas. Namun bagi masyarakat yang tingkat pendidikan rendah, tingkat ekonomi pas-pasan dan tingkat religius yang tinggi, akan mudah terjebak dalam jebakan politik identitas tersebut.
Ingat, Indonesia adalah negara dengan tingkat keberagaman yang sangat tinggi. Keragaman itu akan menjadi sebuah keindahan, jika kita bisa merawatnya. Dan merawat keragaman, merupakan keniscayaan. Karena keragaman itu merupakan anugerah yang diberikan Tuhan kepada kita semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H